Tuesday, December 21, 2010

Memotret Perjuangan Imam Husein dalam Tragedi Karbala

Ketika saja Husain melantunkan proklamirnya dengan semboyan :

" al-maut awla min ruquubil ‘aari wal ‘aaru awla min dhukhuulin naari....
Ana Husaein ibn Ali .....
Ana Husein ibn Ali...."

"Mati lebih utama dari hidup sengsara, dan hidup sengsara lebih utama dari masuk neraka, Akulah Husain ibnu Ali ....Akulah Husain ibnu Ali....."


Ali Syari'ati, 2001, menggambarkan perjuangan Imam Husain dengan

"Syahadah bukanlah merupakan sarana, tetapi tujuan dari itu sendiri. Ia juga keaslian, ia adalah kesempurnaan, ia tinggi, syahadah merupakan setengah jalan menuju puncak tertinggi insani".

Syahadah merupakan undangan untuk segala usia dan generasi, Imam mengajarkan pada setiap ritmik dan kosmos yang bergerak, bahwa jihad bukan hanya untuk yang mampu, dan kemenangan adalah sebuah penaklukan. Dan syahadah bukan sekali-kali merupakan kerugian, syahadah merupakan sebuah pilihan seorang prajurit akan keyakinan menuju ambang kemerekaan, dan altar cinta serta kejayaan".

Imam Husain, dengan perjalanan syahadahnya adalah puncak pemberian pengorbanan manusia. Ia mengajarkan kepada kita akan arti, bahwa "manusia memiliki dunia yang tak terbatas, yang tak terikat pada lingkungannya, tetapi terbuka pada dunia". Berbeda dengan Abu Sofyan, Hindun, Muawiyah, Yazid yang sangat terikat pada pandangan dunia yang sempit dan terbatas, serta terikat oleh lingkungan yang fana, seperti tahta, kekuasaan, wanita, hawa nafsu dan kebinasaan, yg fenomenologi tampilannya dan figurnya tak lebih bagaikan hewan, bahkan lebih sesat dan rendah dari hewan. Jalan hidupnya terobsesi oleh perasaan jalan duniawi, dan kehidupan fana serta kompromi tuntutan-tuntutan pribadi. Jauh dibandingkan dengan Imam Husain, sebuah propotype model manusia yg dadanya penuh dengan saripati pengetahuan dan wawasan, pikirannya sangat dekat mengenal jalan-jalan ukhrawi dan makna tertingggi di balik dunia ini, yg bahkan lebih tinggi dari perasaan-perasaan luhur dan rasa spiritual yg dalam dan halus.

Dimensi Pendidikan Asyura

1. Apa artinya menjadi Manusia

John Naisbitt dan Patricia, 1990 dalam Megatrends 2000, seorang futurerolog, mengemukakan bahwa: "Terobosan paling menggairahkan pada Abad 21 terjadi bukan karena teknologi, tetapi karena perkembangan konsep mengenai apa artinya menjadi manusia"

Jauh sebelum Naisbitt, Imam Husein telah bangkit menolak ajakan untuk duduk di masjid mengajarkan teologi, filsafat, logika, fiqh, budaya yang secara bertahun-tahun dilakukan oleh kebanyakan. Oleh Muawiyah, yang saat itu mungkin dapat disepadankan oleh kebanggaan pada teknologi, dan kebanggaan terhadap saintis maupun rasionalitas semu, tanpa peduli akan makna dan hakekat manusia ataupun kemanusiaan itu sendiri, sebaliknya Imam Husain tidak ingin disibukkan oleh sekedar teori, dialektika, dan wacana absurd tanpa makna, seperti kebanyakan kaum ulama dan kaum cendekia saat berakrobat intelektual dan mengayunkan ayat dan hadits, berdebat fiqh pada tataran bid'ah, sunnah, boleh dan tidak boleh, sementara kedzaliman dan kebusukan serta kediktatoran terjadi dihadapan mata, diam beribu bahasa. Majelis dzikir marak diadakan dimana-mana sementara korupsi, manipulasi dan kepalsuan berlangsung secara sisematis, dan bahkan merajalela.

Namun Imam memilih bagaimana arti menjadi manusia, bagaimana cara hidup dan bahkan bagaimana cara mati. Kebajikan, keikhlasan, kerelaan berkurban, berkhidmat pada sesama, pengurbanan, keluhuran manusia, taqwa, kesucian, dan indahnya kenikmatan demi orang lain, dan bahkan mati itu itu, semua dipersembahkannya Imam. Jalan itu, Ia tempuh dengan cara memilih "mengikuti sunnah datuknya (Muhammad SAW) dan ayahnya (Ali ibn Abi Thalib)", yaitu ajaran Muhammadi,"La Ara fil mauti illassa'adah" (tidak aku perhatikan MAUT kecuali sebuah kebahagiaan), MAUT adalah sebuah realita yang harus dihadapi dan bahkan beliau menjemputnya dengan kerinduan, dan kecintaan secara bersamaan.

Ebeling, 1982, dalam Dogmatik des Christlichen Glaubens, layak melontarkan kritiknya: "Hanya manusia dapat menjadi tidak manusiawi. Bahkan manusia yang tidak manusiawipun mempunyai tuntutan untuk diperlakukan secara manusiawi". Statemen Ebeling, di atas setidaknya cocok dan pantas untuk propotype Abu Sofyan, Hindun, Muawiyah, Yazid, dan Bani Umayyah yang tidak sadar dan tidak akan mungkin sadar akan arti bagaiamana menjadi manusia. Figur mereka, mencerminkan dimensi kerendahan dan keterpurukan bahkan kehancuran kemanusiaan, mereka tidak saja melakukan prosesi segala perilaku jahiliyah pada babakan awal masa Nubuwwah Muhammad, yang dengan bangga memerangi, memboikot, melukai, lebih dari itupun darah dan daging serta hati seorang manusia suci Hamzah paman Nabi, ia makan, ia kunyah dan ditelannya, seraya berteriak "mana Muhammad... mana Muhammad ... perhatikan tubuh dan jantung pamanmu tersayat lumat ?... Yang kemudian Agama Islam mengabadikan mereka Hindun, Abu Sufyan dan kroninya dalam al-Qur'an dengan penobatkan serta gelar sebagai "antumul tulaqaa" gelar yang disandangkan sebagai mereka yang ber-Islam (beragama Islam) secara terpaksa, dan berinterest duniawi, kepasrahan dan Islam yang terpenjara oleh individualismenya sendiri. "Di antara orang-orang yang beriman ada kelompok orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada yang menunggu. Dan mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun juga." (QS. Al-Ahzab; 23).
Ayat diatas memetakan antara Imam Husain dan pengikutnya, yang senantiasa komitmen dan setia terhadap janji yang mereka ikrarkan, sementara Yazid, Muawiyah, Hindun dan Abu Sofyan, serta pengikutnya adalah mereka yang mengingkari terhadap janjinya.

Apa yang terjadi pada babakan Jahiliyah kedua, yaitu tokoh diperankan oleh Muawiyah, pada masa Imam Ali dan Imam Hasan, sipenggemar koleksi para gundik budak dan selir, perampas dan perampok harta negara, dan yang piawi dan mahir dalam siasat dan tipu daya, hingga ia kemas Topeng kesalehan seseorang untuk membunuh Imam Ali, dan merasuk serta membujuk si Istri untuk meracuni Imam Hasan. Babak berikut adalah New jahiliyah, dimana dua figur sentral jahiliyah sang datu dan sang ayah menyatu pada figur Yazid, ia bukan saja gemar menodai wanita, tetapi ibundanyapun kerap kali ia nodai. Ia, mengulangi kembali pragmentasi figur ibundanya si pemakan hati paman Nabi, Hamzah ibn Abi Thalib, dengan membantai seluruh aset dan sisa pengikut setia keluarga Nabi secara biadab, dari seorang kakek, ayah, wanita hamil, anak kecil hingga sang bayi, mereka bantai secara bersamaan, dan Imam Husain Sayyidusy Syuhada memberikan pengorban yang tak ternilai harganya sepanjang peradan manusia, dengan dipenggal lehernya serta diarak ribuan kilometer. Ada saat-saatnya Umat sampai pada titik lumpuh pada pemikiran , tergadai oleh oportunitas kekuasaan, tertanggalnya baju keimanan, kebajikan terasingkan, kaum muda putus asa, dan menggadai diri, para pionir Islam telah syahid, dan dibungkam seribu bahasa. Maka, saat-saat seperti panah tak boleh terpatahkan, lidah tak boleh terpotong, mulut tak boleh tersumbat, pilar-pilar keadilan, kebenaran dan kejujuran harus ditegakkan. Dan Husain, sekali lagi mengajarkan bahwa berdiam diri merupakan petaka akan kelangsungan dan kesucian ajaran Nabi, padahal Imam saat seperti itu Ia sangat dilematis, karena berdiri diantara dua ketidak mampuan, yaitu tidak mampu berdiam diri dan tidak mampu melawan. Yang bila dihadapkan pada kondisional saat kita hidup sekarang ini, berdiri diantara kedua kemampuan, tetapi tidak dapat berbuat, dan terbelenggu serta terperdaya pada kedua kemampuan tersebut. Yaitu kemampuan untuk bicara dan kemampuan untuk melawan, ****bayangkan kemampuan materi tetapi tidak dapat membantu orang yang memerlukan, kemampuan berangkat haji dan umroh untuk beberapa kali, tetapi tidak dapat memberikan subsidi pendidikan bagi anak-anak berbakat dan terlantar, kemampuan menulis dan membaca, tetapi pelu dan kaku lidah serta pena menyuarakan keadilan dan perlawanan terhadap kedzholiman, kemampuan mengajar, dan berdakwah tetapi sulit diimplementasikan diamalkan, suara-suara kritis disumbat dengan mematikan kreatifitas dan sarana untuknya.

Menarik apa yang diungkapkan oleh Yazid kepada Zainab saat menggunakan bahasa Tuhan untuk mengeliminir bahwa apa yang dilakukannya dengan membunuh Imam Husein dan seluruh pengikutnya, adalah atas izin Tuhan-Nya, seraya berkata : "Apa menurut pendapatmu atas perbuatan Tuhan bagi tewasnya saudaramu Imam Husein" Zainab, dengan penuh keyakinan menjawab: "Tidak pernah aku mendengar dan memperhatikan perkataan Allah (Firman-Nya) kecuali yang baik"

Sekali lagi Ayat Al-Quran itu dikutip Imam Husain, untuk menjelaskan keberagamaan yang hakiki dan keberagamaan yang palsu. Kita semua sedang dites oleh Imam Husain dengan sebuah tes yang sederhana tapi berat: Mana komitmenmu? Mana kesetiaanmu pada janjimu? Mana keteguhan sikapmu untuk menegakkan Islam? Jika engkau tidak lulus tes ini, kamu masih mukmin, tetapi mukmin nominal saja, mukmin sebutan saja. Kamu belum mukmin sejati, jika kamu melingkarkan serbanmu dengan ketat, tetapi melonggarkan komitmenmu kepada keadilan. Kamu cuma pamer kesalehan, jika mulutmu menggumam kan asma Allah tidak henti-hentinya, tetapi kamu menggunakan agama untuk memperkaya dirimu.

Seorang mukmin ditandai dari komitmennya pada iman. Seorang muslim ditandai dari komitmennya kepada Islam. Alm. Sayyid Husain Fadhlullah,(Tokoh Ulama Hizbullah yang amat disegani di Libanon) yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam, berkata: Kita harus bertanya -Adakah perjanjian antara kita dengan Allah atau tidak? Adakah perjanjian antara kita dengan Al-Husain sampai kepada Rasulullah saw? Ketika kita mempelajari pertanyaan ini dengan sifat kita sebagai muslimin, kita akan menjawab pertanyaan itu dg mudah, bukan dengan sifat kekerabatan, kedaerahan, kesukuan atau sifat-sifat lainnya yg rendah, karena sifat Islam itulah yg membatasi sikap kedaerahan dan kesukuan kaum muslimin. Sesungguhnya kekerabat an, kedaerahan, kebangsaan, kesukuan, adalah simbol yang boleh jadi bergerak bersama manusia di dunia ini. Tetapi pada hari kiamat , "Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling bertanya" (QS. Al-Mu'minun; 101). Pada hari kiamat orang akan ditanya dari komitmennya kepada Tuhannya, Rasul-Nya dan kitab-Nya dan syariat-Nya." (Fi Rihab ahl al-Bayt alayhim al-salam, hal. 314).

Kini semangat juang Imam Husein dengan tragedi Karbalanya bangkit memberikan spirit bagi perjuangan babak selanjutnya untuk mengenyahkan Amerika dan Koalisi dari bumi Irak. Slogan "No Saddam, No Amerika, Down to Israel, Yes to Islam" Amerika dengan mata menyalak memperhatikan jutaan komunitas pencinta kesucian dan kebenaran bangkit secara terkordinir dan solid tumpah ruah saat memperingati 40 hari peristiwa pembantaian keluarga nabi di Karbala. Sebaliknya selompok laain dari Rakyat Irak, telah melupakan janjinya, mereka putuskan kesetiaannya, pada pemimpin mereka yang mereka eluhkan, selama seperempat abad, yaitu Saddam Husein. Mereka bergabung dengan kezaliman, dan menyambut hangat kedatangan tentara Amerika, bak pahlawan yang lama mereka nantikan. Mereka putuskan hubungan dengan orang yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya. Mereka yang memutuskan perjanjian dg Allah sesudah memperkuatnya dan memutuskan apa yg Allah perintahkan menyambungkan nya dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itulah orang-orang yg merugi (QS. Al-Baqarah 27).

Yang beruntung adalah para pengikut Imam Husain, mereka menepati janjinya, mereka tegakkan keadilan walaupun langit harus runtuh. Kakinya tidak bergeser dari sikap hidup yang dipilihnya. Ada di antara kelompok ini yang sudah gugur dalam menjalankan missi hidupnya. Ada juga yang masih menunggu masa dengan tetap bergerak menuju kesyahidan mereka. Satu demi satu pengikut Imam gugur dengan tidak melepaskan kesetiaanya kepada pemimpinnya. Ketika kepala-kepala mereka terlepas, bibir-bibirnya masih menggumamkan baiat kesetiaan: La ilaha illallah.......

2. Membangun akan arti Budaya

Manusia sering kali disebut sebagai tool-making animal, dimana relasi manusia dengan lingkungannya atau dunianya menjadi relasi yang diperantarakan pada saat manusia menciptakan alat-alat untuk menguasai dan mengendalikan lingkungannya. Salah satu bagian dari alat tersebut adalah budaya, dan apa yang menarik dari kebudayaan ? menurut P.L. Berger, 1967, bahwa, kebudayaan tidak statis, tetapi lebih merupakan proses dialektika, terdiri atas tiga momen perkembangan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.

Ekternalisasi, adalah aktualisasi diri manusia dengan membangun interaksi dengan dunianya. Imam, mengantarkan pada proses ini dimana interaksi dirinya pada dunianya. Dengan mengatakan imperium korup dan ganas serta mengurita saat itu, telah membungkus jubah kesalehan, kumandang ayat, hadits, kesucian dan tauhid yang palsu. Seperti halnya pemimpin yang suka menjatuhkan kehormatan orang lain, yang senang menabur dusta dan fitnah, yang pintar membuat isu, "jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya diulurkannya lidahnya juga" (Al-A'raf 176), adalah pemimpin yang wajib kita lawan. Mengapa? Karena ia telah menghalalkan kehormatan Muslim yang jauh lebih mulia dari kehormatan Ka'bah. Jika menjatuhkan kehormatannya saja sudah menjadi dosa besar, apatah lagi menghalalkan hartanya dan darahnya.

Tugas pemimpin adalah melindungi kehormatan, harta, dan darah yang dipimpinnya. Itulah perjanjian yang mengikat pemimpin dengan pengikutnya. Itulah kontrak sosial yang pada gilirannya mengikat pengikut untuk mentaati dan mengikuti perintahnya. Jika kontrak ini dilanggar, gugurlah kewajiban mentaatinya. Sebagai penggantinya, kita harus menentangnya, melawannya, dan bahkan memeranginya. Imam Husein menyebutkan tanda kedua pemimpin yang harus dilawan: memutuskan janjinya. Menarik bila dicermati,
Saya sangat pesimis terhadap mutu hasil Pemilu Daerah dimana-mana selain terjadi money politik, bahkan calon yang terjerat sebagai terdakwa dan di selkan dengan mudahnya dapat terpilih sebagai pemenang dalam pemilukada. Disampimng terbukti dari ditemukannya oleh tim Badan Pusat Statistik, dan P4B (Pendataan Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan), dimana masyarakat banyak yang menolak untuk didaftar sebagai peserta pemilu, karena banyak rakyat yang dikecewakan oleh komitmen para pemimpin yg mereka pilih.

Bila Imam tidak menampilkan aktualisasi diri dengan berinteraksi pada dunianya, nisacaya jubah kepalsuan, kemunafikan terus bersemayam diatas bungkus jubah kesalehan, kepatuhan dan religiusitas lainnya. Obyektivasi adalah hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik) dari kegiatan tersebut. Dimensi ini ditampilkan pada saat Imam keluar menghadap kemah pasukan ‘Umar ibn Sa'adalah, seraya berteriak: " hai, dengarkanlah ! luangkan sedikit waktu untuk mendengar ucapanku. Puji atas Allah dan shalawat atas nabi serta keluarnya. Telusurilah garis keturunanku, lalu renungkanlah siapa diri kalian, lalu renungkan kembali adakah sedikit alasan untuk mengalirkan darahku dimuka bumi ini ? ....." keterpaduan dan pencapaian mental dan fisik, bahwa, Imam melakukan penyadaran atas kelaliman mereka, dengan ultimatum "...kalian membaca Al-Qur'an, mengaku umat datukku Muhammad, namun kalian sunguh berani membantai putranya..., sampai pada kepada salah satu ucapan Imam sbb :

" man lahu jaddun kajaddi Mushthofa, man lahu abun kaabi haidar, man lahu ‘ammun ka'ammi hamzah man lahu ummum kaummi faathimah, man lahu akhun kaakhi mujtaba".{siapa diantara kalian (baca:tentara pasukan Yazid) yang memiliki datuk (kakek) seperti datuk-ku Mushtofa Muhammad SAW, siapayang diantara kalian memiliki seorang ayah seperti ayah-ku Abu Haidar (Imam Ali ibn Abi Thalib), siapa yang memiliki seorang paman seperti paman-ku Hamzah, siapa yang memiliki seorang ibu sepertii ibu suci-ku Sayyidah Fathimah, dan siapapula yang memiliki saudara (kakak) seperti saudara-ku Imam Hasan}

Internalisasi adalah penyerapan kembali realitas keyakinan dan kedirian ini oleh manusia suatu proses transformasi struktur dunia obyektif ke dalam kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi kebudayaan menjadi produk manusia, Melalui obyektivasi kebudayaan menjadi realitas sui generic. Ketika Imam Husein disuruh untuk berbaiat kepada Yazid, ia menegaskan bahwa Yazid tidak layak menerima kepatuhan rakyat. "Yazid seorang fasik, peminum khamar, dan penumpah darah yang diharamkan," kata Imam Husein. Ketika orang-orang menyebut hubungan kekerabatan antara Imam Husein dengan Yazid -"Anzil ‘ala hukmi ibni ‘ammik- Imam berkata, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kepada kalian tanganku dengan kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak." La, wallah, la u'thikum biyadi i'thaa al-dzalil wa la uqirru iqraral ‘abid. Sebuah deklarasi revolusioner untuk kebebasan manusia! Anda bisa saja dipaksa untuk melakukan apa pun, tetapi hati nurani Anda masih punya kebebasan berkehendak. Dalam situasi apa pun, bahkan di kamp konsentrasi sekali pun, kata Viktor Frankl, Anda masih memiliki kebebasan memilih. Tubuh Anda boleh jadi sudah menyerah, tetapi hati Anda masih bebas memilih antara menyerah dan membangkang . Pembangkangan batin tidak dapat dihilangkan oleh kawat berduri sekali pun.

Imam Husein mengajarkan kepada kita bahwa sebelum kita "menuliskan tanda tangan" kepatuhan pada perjanjian kita dengan pemimpin, kita harus mengetahui dahulu kualitas pemimpin itu.

Sayyid Husein Fadhlullah QS menjelaskan kalimat Imam Husein di atas sebagai berikut: "Kepada siapa Anda berbaiat? Kepada siapa Anda berjanji? Kepada siapa Anda menjalin kontrak? Sebelum Anda meletakkan Anda pada tangan siapa saja, pelajarilah kepribadiannya, pelajarilah perjalanan hidupnya, pelajarilah sikapnya kepadamu, pelajarilah alat-alat penindasan yang dimilikinya terhadapmu. Setelah itu, berhatilah-hatilah untuk meletakkan tanganmu di atas tangan seorang manusia yang mempunyai semua alat untuk menindas karena ikatan perjanjian antaramu dgn dia menjadi sebuah perjanjian yg memberikan peluang kepada yg kuat untuk menindas yg lemah.

"Jangan letakkan tanganmu pada tangan seorang manusia yang menginginkan agar tangannya berada di atas tanganmu, untuk memaksa kamu menerima syarat-syarat yang tidak kamu setujui. Jika kejadiannya seperti itu, hendaknya kamu segera menarik tanganmu. Persoalannya adalah apakah kehormatan masih ada padamu atau tidak, apakah kamu dalam keadaan hina atau tidak. Imam Husein mengatakan kalimat di atas karena mereka berkata kepadanya: "Tunduklah kepada hukum putra pamanmu. Tunduklah pada hukum Yazid, supaya ia menetapkan kamu seperti yang ia kehendaki. Tunduklah pada hukum Ibnu Ziyad supaya ia menentukan kamu seperti yang ia kehendaki. Kami berjanji padamu bahwa kamu akan memperoleh perlakuan yang adil, karena putra pamanmu tidak pernah memperlakukan mu kecuali dengan kebaikan".

Pada saat itulah Imam berkata: "Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kepada kalian tanganku dengan kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak. Tidak mungkin tanganku bersalaman denganmu atau berjanji padamu. Tidak mungkin aku berjalan bersamamu dalam keadaan apa pun selama keadaan itu menunjukkan penghinaan seorang mukmin atau penghinaan perilaku mukmin. Aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak."
Imam Husein ingin mengajar semua orang dalam sabdanya seakan-akan ia berkata: Jika kamu ingin mengakui sesuatu atau menyatakan satu pernyataan hendaklah pengakuan itu keluar dari kebebasan kehendakmu, dari pusat keyakinanmu. Engkau hanya mengakui sesuatu yang engkau percayai, karena engkau yakin bahwa sesuatu itu adalah kebenaran, sehingga kamu mampu mengucapkan ‘ya' pada saat kamu mampu mengucapkan ‘tidak'.

"Apabila keadaannya tidak seperti yang engkau yakini, menurut arah yang tidak engkau setujui, atau untuk mengakui hanya karena orang lain berkata kepadamu, ‘Berusahalah untuk memberikan pengakuan" sambil memaksa kamu dengan ancaman, penindasan, atau paksaan; pada saat itu yang terjadi padamu adalah pengakuan seorang budak yang tidak memiliki kemampuan untuk berkehendak. Mengapa? Karena orang lainlah yang menghendaki atau tidak menghendakinya." (Fi Rihab Ahl al-Bayt, 338-339). Dalam konteks KPU, BPS dan P4B, sebenarnya secara tidak langsung sedang disadarkan akan arti sebuah ucapan ya' pada saat rakyat Indonesia mampu mengucapkan ‘tidak'. Secara singkat, Imam Husein berpesan: Taatilah seorang pemimpin atau penguasa selama kamu yakin bahwa ketaatanmu kepadanya didasarkan pada hati nuranimu, pada kebenaran yang kamu yakini. Bila ia memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu yakini sebagai kebenaran, wajib bagimu melakukan perlawanan. Imam Husein juga menegaskan bahwa kamu juga wajib melawan penguasa -siapa saja dia: sejak suami atau atasan kamu sampai kepada orang yang memegang pemerintahan baik eksekutif, legislatif, atau judikatif- bila dia menentang sunnah Rasulullah saw.

Masih dalam khutbahnya yang sama, Imam Husein memperinci karakteristik pemimpin yang menentang sunnah Rasulullah saw: Mereka menimbulkan kerusakan melecehkan hukum, mendahulukan kekayaan, menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkannya. Tugas seorang pemimpin ialah memperbaiki rakyatnya secara ruhaniah dan jasmaniah.

Konon, menurut Rousseau, pada zaman dahulu manusia terus menerus berkelahi karena masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Akhirnya mereka memilih pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Dibuatlah perjanjian sosial, le contrat social. Tetapi dalam perjalanan sejarah, seringkali pemimpin malah merusak rakyatnya secara ruhaniah dan jasmaniah.

Melalui internalisasi manusia menjadi produk kebudayaan, menurut P.L. Berger, The Sacred canopy. Elements of Sociological Theory of Religion, proses internalisasi Imam Husein , adalah penyerapan akan realitas dimana datuknya pernah mengatakan :"Husein minni wa ana min Husein" , bahwa darah daging, keyakinan, ajaran dan perjuangan Husain adalah implikasi serta implementasi dari datuknya Muhammad, tetapi kemudian transformasi struktur tadi menegaskan bahwa ajaran, keyakinan, risalah, serta nubuwwah datuknya Muhammad, hanya dapat diselamatkan dan ditegakkan oleh dan dengan pribadi serta perjuangan Imam Husain, jadi ini yang menarik dari filosofis "Ana min Husein" kesadaran Imam Husain ini yang menjadi pilar serta cerminan yang dipostulatkan pada cultur (budaya) bagi para penegak kebenaran, keadilan serta kesucian sepanjang masa dan zaman. Dalam artian Islam datang dibawah oleh datuknya Muhammad, dan dikekalkan serta diabadikan oleh pengorbanan Husein. Sehingga analisis perjuangan Imam adalah kehendak nafsu dan egoisme serta kecerobohan belaka dengan sendirinya dapat dipatahkan dan dimentahkan, oleh akal dan logika apapun.

3. Mengangkat Potensi Transendensi

Dimensi transendensi manusia mengungkapkan diri dalam kebebasan, kreatifitas, hubungan antar pribadi, pengharapan dan pengalaman religius. Transendensi adalah "menjadi lebih" bukan dalam konteks kuantitatif, tetapi lebih dalam konteks kualitatif, suatu pendalaman, pemekaran, dan penghayatan hidup atau suatu humanisasi. Hal ini terindikasikan ketika Imam Husein mempersilahkan, para pengikutnya untuk meninggalkan beliau, seraya berkata : "hari ini saat mereka tentara Yazid, sedang lelap dalam kantuknya, dan hari cukup gelap, dibawah saksi bintang gemintang dan rembulan, kuizinkan kalian untuk meninggalkan kami, tiada beban dan kewajiban yang menyebabkan kalian menanggung dosa, atas kami silakan...kalian meninggalkan kami, niscaya Allah dan Rasul senantiasa melindungi kepergian kalian ...!

Dialog transendensi terjadi keluar dari bibir suci Imam Husein, namun apa yang didapati dari jawaban pengikutnya. "Tidak,.....tidak,...dan tidak...! Kami senantiasa selalu bersamamu Imam, maka muka serta wajah yang bagaimana kami harus menghadapkan dihadapan baginda Rasulillah, sementara kami membiarkan engkau wahai Imam rela dibunuh oleh ratusan tentara Yazid, pemegang agama yang korup.


Transendensi versus doktrin Hitler berhadapan diantara kita, bandingkan keimanan dan kepatuhan pengikut Imam Husein dengan doktrin perang salib yang dikobarkan oleh Thariq ibn Ziyad, dengan cara membakar sampan dan perahu kaum muslimin, kemudian membakar semangat mereka kaum muslimin dengan tidak ada pilihan mati ditelan ombak atau ikut berjuang melawan kaum kuffar. Sehingga perjuangan yang dipaksakan, apalagi dengan iming serta janji palsu, akan lahir seperti apa yang kita alami saat ini, di bumi Indonesia yang berpenduduk ratusan juta ummat mengalami krisis kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap apa yang mereka janjikan, serta miskin akan pemimpin yang layak dan patut diteladani.


Bahrudin pemerhati pendidikan dan sosio keagamaan
Kepsek SMA Unggulan Dai Annur
Mantan kepsek SMP Islam Plus Azzahra
Dosen Madina Ilmu

No comments: