Tuesday, December 21, 2010

Asyura dan Tradisi

Kebangkitan Imam Husein as pada hari Asyura merupakan fenomena heroik. Fenomena itu telah mencerminkan nilai-nilai mulia sepanjang masa. Pada hari Asyura, Imam Husein as bersama para sahabatnya yang berjumlah sedikit, menghadapi ribuan pasukan lalim. Imam Husein dan sahabat-sahabat setianya mampu mencerminkan pemandangan luar biasa yang kemudian menjadi cermin perjuangan dari masa ke masa. Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala dengan tujuan mulianya mampu menegaskan bahwa kematian lebih baik dari pada hidup di bawah kehinaan.

Kebangkitan Imam Husein as dilandasi tujuan-tujuan mulia yang tercerminkan dalam berbagai pidatonya di Karbala. Perilaku Imam Husein as dan para sahabatnya di Karbala mencerminkan kemuliaan, kehormatan manusia dan perlawanan anti-kezaliman. Perlawanan para pejuang Karbala juga menunjukkan aspek kecintaan, pengorbanan, kesabaran dan kegigihan yang tentunya mengandung pesan budaya yang luar biasa dari masa ke masa.

Kemudian bagaimana budaya Asyura dapat bertahan dari masa ke masa? Apa yang dilakukan para seniman dalam rangka menghidupkan kebangkitan Imam Husein as?

Maqtal

Salah satu cara menghidupkan kebangkitan Imam Husein as adalah pembacaan maqtal. Maqtal adalah kronologi perjalanan Imam Husein as di Karbala yang mengandung aspek moral, politik dan sosial. Peristiwa Karbala menggambarkan dua sudut yang bertolak belakang. Sudut pertama ada di pihak kebenaran yang diperankan oleh Imam Husein as dan para sahabatnya yang setia, sedangkan sudut lainnya adalah Bani Umayah dan pasukan-pasukan bengisnya. Kecintaan dan kebencian tergambar jelas dalam peristiwa Karbala.

Maqtal-maqtal Imam Husein as ditulis hingga abad kelima hijriah yang juga termasuk salah satu catatan sejarah yang dekat dengan masa peristiwa Asyura. Karena dekat dengan masa peristiwa Karbala, catatan-catatan yang dituangkan dalam maqtal itu sedikit cacat sejarah. Maqtal Abi Mikhnaf yang juga dikutip dalam kitab Tarikh Thabari dan sejumlah kitab sejarah lainnya, merupakan salah satu maqtal yang diakui. Maqtal Abi Mikhnaf itu ditulis pada abad kedua hijrah.

Syair

Cara lain untuk menghidupkan peristiwa Asyura adalah syair. Dalam peristiwa Karbala, syair yang disampaikan para penyair dapat menjadi penyampai pesan gerakan ini. Syair-syair seringkali disampaikan di berbagai acara peringatan Asyura guna membangkitkan semangat Huseini.

Setelah peristiwa Asyura sekitar tiga abad, syair kebangkitan dan religius berkembang secara diam-diam di tengah para pengikut Ahlul Bait as karena penguasa saat itu melarangnya. Akan tetapi setelah Muiz al-Dien Ahmad Daylami berkuasa di sejumlah wilayah seperti Irak, Khozestan dan Fars di pertengahan abad keempat hijrah, peringatan Imam Husein as diperingati di tempat-tempat umum. Muiz al-Dien Ahmad Daylami saat itu mengeluarkan perintah bahwa peringatan Imam Husein as dapat dilaksanakan di khalayak umum.

Setelah itu, peringatan Asyura bukan lagi disebut sebagai tindakan yang melawan hukum, bahkan dijadikan sebagai perintah yang harus dilaksanakan di berbagai tempat. Sejak itu pula, peringatan kepahlawanan Imam Husein as di Karbala digelar tanpa rasa takut dan khawatir. Syair Huseini untuk pertama kali dituangkan dalam bentuk tulisan oleh Kesa'i Marouzi.

Di antara penyair besar yang seringkali melantunkan syair-syair peristiwa Asyura adalah Muhtasham Kashani. 12 butir Muhtasham Kashani tetap menjadi penggerak di dunia syair pada era kontemporer. Dalam konteks syair Asyura harus diperhatikan aspek-aspek kebangkitan Imam Husein as dan peristiwa Karbala. Syair-syair Asyura harus berlandaskan nilai dan semangat gerakan Imam Husein as.

Takziyah

Takziyah adalah salah satu pentas seni yang sarat dengan nilai-nilai ideologi, budaya dan politik. Takziyah adalah tradisi bangsa Iran untuk mengenang perjuangan Imam Husein as. Meski Takziyah sudah ada sebelum kemunculan Islam, namun setelah peristiwa Asyura tahun 61 hijriah, tradisi itu berubah menjadi ajang untuk mengenang kebangkitan Imam Husein as.

Takziyah secara konvensional dapat diartikan sebagai pentas yang menceritakan tokoh-tokoh yang menampilkan kepahlawanan dalam peristiwa Karbala. Takziyah adalah sebuah pentas agamis-Syiah dan tradisional Iran.

Dari sisi bahasa, takziyah mempunyai arti menghibur dan mengingatkan kesabaran kepada keluarga yang ditinggal. Takziyah dapat dikategorikan sebagai acara belasungkawa religius yang mulai populer di Iran sejak masa Aali Buyeh pada abad sembilan dan sepuluh masehi.

Di masa Aali Buyeh, takziyah dikenal sebagai tradisi duka cita kalangan Syiah. Di masa Safaviyeh, takziyah dikenal sebagai ajang syair bagi para penyair seperti Muhtasham Kashani. Adapun di masa Qajar, takziyah berubah menjadi ajang pentas dan dibangun tempat yang bernama Tikiyeh.

Tradisi Takziyah di Iran dipandu dengan syair Persia dan musik tradisional Persia, yang tentunya juga dilandasi dengan keyakinan mazhab Ahlul Bait as. Tradisi ini mempunyai sejarah panjang di Iran.

Para pementas dalam tradisi Takziyah menunjukkan semangat heroik dan religius. Selain itu, mereka juga pandai memeragakan alat-alat musik tradisional Iran. Dalam tradisi Takziyah, para pementas berdialog dengan lantunan syair yang disesuaikan dengan peran mereka.

Kondisi Asyura dalam tradisi Takziyah digambarkan secara penuh. Di pentas tradisional itu, ada tempat air, sungai, tempat lalu-lalang pasukan, tokoh serta warna-warni pakaian dan bendera. Di sana juga digambarkan manusia-manusia suci yang kehausan di tengah kepungan para musuh.

Sidang ke-5 Komite Antar-Pemerintah tentang Perlindungan Warisan Budaya Takbenda (Inter-Governmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (IGC-ICH) yang berlangsung di Nairobi, Kenya, pada 16 November 2010, mengukuhkan Takziyah sebagai warisan budaya Iran.

Pada umumnya, Takziyah dipentaskan pada bulan Muharam dan Safar di seluruh pelosok Iran. Tradisi itu bahkan digelar tempat-tempat terbuka yang tentunya tidak memerlukan gedung dan aksesoris mahal. Para penonton pentas itu berasal dari semua kalangan, termasuk dari kelompok Sunni.

Pardeh Khani

Pardeh Khani adalah salah satu tradisi Iran lainnya untuk mengenang kebangkitan Imam Husein as di Karbala. Pardeh Khani sama seperti wayang beber. Disebut Pardeh Khani karena berupa lembaran yang menceritakan para tokoh Karbala. Dalam Pardeh Khani ada pendalang yang berfungsi menceritakan lembaran-lembaran gambar yang juga diiringi dengan musik Iran.

Pada intinya, Pardeh Khani terdiri dari pendalang dan kain lembaran yang menceritakan alur cerita. Topik utama dalam pentas Pardeh Khani itu adalah Karbala. Dalam alur cerita dikisahkan pihak yang benar dan pihak yang salah. Perlawanan Imam Husein as terhadap pasukan Yazid bin Muawiyah benar-benar digambarkan secara gamblang sehingga para penonton mengutuk pihak batil yang tega membantai keluarga Rasulullah Saw secara keji.

Pada umumnya, pedalang bercerita dengan suara lantang. Selain itu, pedalang juga menggunakan tongkat kayu sebagai pengarah alur cerita. Kisah kepahlawanan Imam Husein as dalam pentas Pardeh Khani diceritakan secara urut.

Memotret Perjuangan Imam Husein dalam Tragedi Karbala

Ketika saja Husain melantunkan proklamirnya dengan semboyan :

" al-maut awla min ruquubil ‘aari wal ‘aaru awla min dhukhuulin naari....
Ana Husaein ibn Ali .....
Ana Husein ibn Ali...."

"Mati lebih utama dari hidup sengsara, dan hidup sengsara lebih utama dari masuk neraka, Akulah Husain ibnu Ali ....Akulah Husain ibnu Ali....."


Ali Syari'ati, 2001, menggambarkan perjuangan Imam Husain dengan

"Syahadah bukanlah merupakan sarana, tetapi tujuan dari itu sendiri. Ia juga keaslian, ia adalah kesempurnaan, ia tinggi, syahadah merupakan setengah jalan menuju puncak tertinggi insani".

Syahadah merupakan undangan untuk segala usia dan generasi, Imam mengajarkan pada setiap ritmik dan kosmos yang bergerak, bahwa jihad bukan hanya untuk yang mampu, dan kemenangan adalah sebuah penaklukan. Dan syahadah bukan sekali-kali merupakan kerugian, syahadah merupakan sebuah pilihan seorang prajurit akan keyakinan menuju ambang kemerekaan, dan altar cinta serta kejayaan".

Imam Husain, dengan perjalanan syahadahnya adalah puncak pemberian pengorbanan manusia. Ia mengajarkan kepada kita akan arti, bahwa "manusia memiliki dunia yang tak terbatas, yang tak terikat pada lingkungannya, tetapi terbuka pada dunia". Berbeda dengan Abu Sofyan, Hindun, Muawiyah, Yazid yang sangat terikat pada pandangan dunia yang sempit dan terbatas, serta terikat oleh lingkungan yang fana, seperti tahta, kekuasaan, wanita, hawa nafsu dan kebinasaan, yg fenomenologi tampilannya dan figurnya tak lebih bagaikan hewan, bahkan lebih sesat dan rendah dari hewan. Jalan hidupnya terobsesi oleh perasaan jalan duniawi, dan kehidupan fana serta kompromi tuntutan-tuntutan pribadi. Jauh dibandingkan dengan Imam Husain, sebuah propotype model manusia yg dadanya penuh dengan saripati pengetahuan dan wawasan, pikirannya sangat dekat mengenal jalan-jalan ukhrawi dan makna tertingggi di balik dunia ini, yg bahkan lebih tinggi dari perasaan-perasaan luhur dan rasa spiritual yg dalam dan halus.

Dimensi Pendidikan Asyura

1. Apa artinya menjadi Manusia

John Naisbitt dan Patricia, 1990 dalam Megatrends 2000, seorang futurerolog, mengemukakan bahwa: "Terobosan paling menggairahkan pada Abad 21 terjadi bukan karena teknologi, tetapi karena perkembangan konsep mengenai apa artinya menjadi manusia"

Jauh sebelum Naisbitt, Imam Husein telah bangkit menolak ajakan untuk duduk di masjid mengajarkan teologi, filsafat, logika, fiqh, budaya yang secara bertahun-tahun dilakukan oleh kebanyakan. Oleh Muawiyah, yang saat itu mungkin dapat disepadankan oleh kebanggaan pada teknologi, dan kebanggaan terhadap saintis maupun rasionalitas semu, tanpa peduli akan makna dan hakekat manusia ataupun kemanusiaan itu sendiri, sebaliknya Imam Husain tidak ingin disibukkan oleh sekedar teori, dialektika, dan wacana absurd tanpa makna, seperti kebanyakan kaum ulama dan kaum cendekia saat berakrobat intelektual dan mengayunkan ayat dan hadits, berdebat fiqh pada tataran bid'ah, sunnah, boleh dan tidak boleh, sementara kedzaliman dan kebusukan serta kediktatoran terjadi dihadapan mata, diam beribu bahasa. Majelis dzikir marak diadakan dimana-mana sementara korupsi, manipulasi dan kepalsuan berlangsung secara sisematis, dan bahkan merajalela.

Namun Imam memilih bagaimana arti menjadi manusia, bagaimana cara hidup dan bahkan bagaimana cara mati. Kebajikan, keikhlasan, kerelaan berkurban, berkhidmat pada sesama, pengurbanan, keluhuran manusia, taqwa, kesucian, dan indahnya kenikmatan demi orang lain, dan bahkan mati itu itu, semua dipersembahkannya Imam. Jalan itu, Ia tempuh dengan cara memilih "mengikuti sunnah datuknya (Muhammad SAW) dan ayahnya (Ali ibn Abi Thalib)", yaitu ajaran Muhammadi,"La Ara fil mauti illassa'adah" (tidak aku perhatikan MAUT kecuali sebuah kebahagiaan), MAUT adalah sebuah realita yang harus dihadapi dan bahkan beliau menjemputnya dengan kerinduan, dan kecintaan secara bersamaan.

Ebeling, 1982, dalam Dogmatik des Christlichen Glaubens, layak melontarkan kritiknya: "Hanya manusia dapat menjadi tidak manusiawi. Bahkan manusia yang tidak manusiawipun mempunyai tuntutan untuk diperlakukan secara manusiawi". Statemen Ebeling, di atas setidaknya cocok dan pantas untuk propotype Abu Sofyan, Hindun, Muawiyah, Yazid, dan Bani Umayyah yang tidak sadar dan tidak akan mungkin sadar akan arti bagaiamana menjadi manusia. Figur mereka, mencerminkan dimensi kerendahan dan keterpurukan bahkan kehancuran kemanusiaan, mereka tidak saja melakukan prosesi segala perilaku jahiliyah pada babakan awal masa Nubuwwah Muhammad, yang dengan bangga memerangi, memboikot, melukai, lebih dari itupun darah dan daging serta hati seorang manusia suci Hamzah paman Nabi, ia makan, ia kunyah dan ditelannya, seraya berteriak "mana Muhammad... mana Muhammad ... perhatikan tubuh dan jantung pamanmu tersayat lumat ?... Yang kemudian Agama Islam mengabadikan mereka Hindun, Abu Sufyan dan kroninya dalam al-Qur'an dengan penobatkan serta gelar sebagai "antumul tulaqaa" gelar yang disandangkan sebagai mereka yang ber-Islam (beragama Islam) secara terpaksa, dan berinterest duniawi, kepasrahan dan Islam yang terpenjara oleh individualismenya sendiri. "Di antara orang-orang yang beriman ada kelompok orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Di antara mereka ada yang gugur. Di antara mereka ada yang menunggu. Dan mereka tidak mengubah janjinya sedikit pun juga." (QS. Al-Ahzab; 23).
Ayat diatas memetakan antara Imam Husain dan pengikutnya, yang senantiasa komitmen dan setia terhadap janji yang mereka ikrarkan, sementara Yazid, Muawiyah, Hindun dan Abu Sofyan, serta pengikutnya adalah mereka yang mengingkari terhadap janjinya.

Apa yang terjadi pada babakan Jahiliyah kedua, yaitu tokoh diperankan oleh Muawiyah, pada masa Imam Ali dan Imam Hasan, sipenggemar koleksi para gundik budak dan selir, perampas dan perampok harta negara, dan yang piawi dan mahir dalam siasat dan tipu daya, hingga ia kemas Topeng kesalehan seseorang untuk membunuh Imam Ali, dan merasuk serta membujuk si Istri untuk meracuni Imam Hasan. Babak berikut adalah New jahiliyah, dimana dua figur sentral jahiliyah sang datu dan sang ayah menyatu pada figur Yazid, ia bukan saja gemar menodai wanita, tetapi ibundanyapun kerap kali ia nodai. Ia, mengulangi kembali pragmentasi figur ibundanya si pemakan hati paman Nabi, Hamzah ibn Abi Thalib, dengan membantai seluruh aset dan sisa pengikut setia keluarga Nabi secara biadab, dari seorang kakek, ayah, wanita hamil, anak kecil hingga sang bayi, mereka bantai secara bersamaan, dan Imam Husain Sayyidusy Syuhada memberikan pengorban yang tak ternilai harganya sepanjang peradan manusia, dengan dipenggal lehernya serta diarak ribuan kilometer. Ada saat-saatnya Umat sampai pada titik lumpuh pada pemikiran , tergadai oleh oportunitas kekuasaan, tertanggalnya baju keimanan, kebajikan terasingkan, kaum muda putus asa, dan menggadai diri, para pionir Islam telah syahid, dan dibungkam seribu bahasa. Maka, saat-saat seperti panah tak boleh terpatahkan, lidah tak boleh terpotong, mulut tak boleh tersumbat, pilar-pilar keadilan, kebenaran dan kejujuran harus ditegakkan. Dan Husain, sekali lagi mengajarkan bahwa berdiam diri merupakan petaka akan kelangsungan dan kesucian ajaran Nabi, padahal Imam saat seperti itu Ia sangat dilematis, karena berdiri diantara dua ketidak mampuan, yaitu tidak mampu berdiam diri dan tidak mampu melawan. Yang bila dihadapkan pada kondisional saat kita hidup sekarang ini, berdiri diantara kedua kemampuan, tetapi tidak dapat berbuat, dan terbelenggu serta terperdaya pada kedua kemampuan tersebut. Yaitu kemampuan untuk bicara dan kemampuan untuk melawan, ****bayangkan kemampuan materi tetapi tidak dapat membantu orang yang memerlukan, kemampuan berangkat haji dan umroh untuk beberapa kali, tetapi tidak dapat memberikan subsidi pendidikan bagi anak-anak berbakat dan terlantar, kemampuan menulis dan membaca, tetapi pelu dan kaku lidah serta pena menyuarakan keadilan dan perlawanan terhadap kedzholiman, kemampuan mengajar, dan berdakwah tetapi sulit diimplementasikan diamalkan, suara-suara kritis disumbat dengan mematikan kreatifitas dan sarana untuknya.

Menarik apa yang diungkapkan oleh Yazid kepada Zainab saat menggunakan bahasa Tuhan untuk mengeliminir bahwa apa yang dilakukannya dengan membunuh Imam Husein dan seluruh pengikutnya, adalah atas izin Tuhan-Nya, seraya berkata : "Apa menurut pendapatmu atas perbuatan Tuhan bagi tewasnya saudaramu Imam Husein" Zainab, dengan penuh keyakinan menjawab: "Tidak pernah aku mendengar dan memperhatikan perkataan Allah (Firman-Nya) kecuali yang baik"

Sekali lagi Ayat Al-Quran itu dikutip Imam Husain, untuk menjelaskan keberagamaan yang hakiki dan keberagamaan yang palsu. Kita semua sedang dites oleh Imam Husain dengan sebuah tes yang sederhana tapi berat: Mana komitmenmu? Mana kesetiaanmu pada janjimu? Mana keteguhan sikapmu untuk menegakkan Islam? Jika engkau tidak lulus tes ini, kamu masih mukmin, tetapi mukmin nominal saja, mukmin sebutan saja. Kamu belum mukmin sejati, jika kamu melingkarkan serbanmu dengan ketat, tetapi melonggarkan komitmenmu kepada keadilan. Kamu cuma pamer kesalehan, jika mulutmu menggumam kan asma Allah tidak henti-hentinya, tetapi kamu menggunakan agama untuk memperkaya dirimu.

Seorang mukmin ditandai dari komitmennya pada iman. Seorang muslim ditandai dari komitmennya kepada Islam. Alm. Sayyid Husain Fadhlullah,(Tokoh Ulama Hizbullah yang amat disegani di Libanon) yang sudah menyerahkan seluruh hidupnya untuk Islam, berkata: Kita harus bertanya -Adakah perjanjian antara kita dengan Allah atau tidak? Adakah perjanjian antara kita dengan Al-Husain sampai kepada Rasulullah saw? Ketika kita mempelajari pertanyaan ini dengan sifat kita sebagai muslimin, kita akan menjawab pertanyaan itu dg mudah, bukan dengan sifat kekerabatan, kedaerahan, kesukuan atau sifat-sifat lainnya yg rendah, karena sifat Islam itulah yg membatasi sikap kedaerahan dan kesukuan kaum muslimin. Sesungguhnya kekerabat an, kedaerahan, kebangsaan, kesukuan, adalah simbol yang boleh jadi bergerak bersama manusia di dunia ini. Tetapi pada hari kiamat , "Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu dan tidak pula mereka saling bertanya" (QS. Al-Mu'minun; 101). Pada hari kiamat orang akan ditanya dari komitmennya kepada Tuhannya, Rasul-Nya dan kitab-Nya dan syariat-Nya." (Fi Rihab ahl al-Bayt alayhim al-salam, hal. 314).

Kini semangat juang Imam Husein dengan tragedi Karbalanya bangkit memberikan spirit bagi perjuangan babak selanjutnya untuk mengenyahkan Amerika dan Koalisi dari bumi Irak. Slogan "No Saddam, No Amerika, Down to Israel, Yes to Islam" Amerika dengan mata menyalak memperhatikan jutaan komunitas pencinta kesucian dan kebenaran bangkit secara terkordinir dan solid tumpah ruah saat memperingati 40 hari peristiwa pembantaian keluarga nabi di Karbala. Sebaliknya selompok laain dari Rakyat Irak, telah melupakan janjinya, mereka putuskan kesetiaannya, pada pemimpin mereka yang mereka eluhkan, selama seperempat abad, yaitu Saddam Husein. Mereka bergabung dengan kezaliman, dan menyambut hangat kedatangan tentara Amerika, bak pahlawan yang lama mereka nantikan. Mereka putuskan hubungan dengan orang yang Allah perintahkan untuk menyambungkannya. Mereka yang memutuskan perjanjian dg Allah sesudah memperkuatnya dan memutuskan apa yg Allah perintahkan menyambungkan nya dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itulah orang-orang yg merugi (QS. Al-Baqarah 27).

Yang beruntung adalah para pengikut Imam Husain, mereka menepati janjinya, mereka tegakkan keadilan walaupun langit harus runtuh. Kakinya tidak bergeser dari sikap hidup yang dipilihnya. Ada di antara kelompok ini yang sudah gugur dalam menjalankan missi hidupnya. Ada juga yang masih menunggu masa dengan tetap bergerak menuju kesyahidan mereka. Satu demi satu pengikut Imam gugur dengan tidak melepaskan kesetiaanya kepada pemimpinnya. Ketika kepala-kepala mereka terlepas, bibir-bibirnya masih menggumamkan baiat kesetiaan: La ilaha illallah.......

2. Membangun akan arti Budaya

Manusia sering kali disebut sebagai tool-making animal, dimana relasi manusia dengan lingkungannya atau dunianya menjadi relasi yang diperantarakan pada saat manusia menciptakan alat-alat untuk menguasai dan mengendalikan lingkungannya. Salah satu bagian dari alat tersebut adalah budaya, dan apa yang menarik dari kebudayaan ? menurut P.L. Berger, 1967, bahwa, kebudayaan tidak statis, tetapi lebih merupakan proses dialektika, terdiri atas tiga momen perkembangan eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi.

Ekternalisasi, adalah aktualisasi diri manusia dengan membangun interaksi dengan dunianya. Imam, mengantarkan pada proses ini dimana interaksi dirinya pada dunianya. Dengan mengatakan imperium korup dan ganas serta mengurita saat itu, telah membungkus jubah kesalehan, kumandang ayat, hadits, kesucian dan tauhid yang palsu. Seperti halnya pemimpin yang suka menjatuhkan kehormatan orang lain, yang senang menabur dusta dan fitnah, yang pintar membuat isu, "jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya diulurkannya lidahnya juga" (Al-A'raf 176), adalah pemimpin yang wajib kita lawan. Mengapa? Karena ia telah menghalalkan kehormatan Muslim yang jauh lebih mulia dari kehormatan Ka'bah. Jika menjatuhkan kehormatannya saja sudah menjadi dosa besar, apatah lagi menghalalkan hartanya dan darahnya.

Tugas pemimpin adalah melindungi kehormatan, harta, dan darah yang dipimpinnya. Itulah perjanjian yang mengikat pemimpin dengan pengikutnya. Itulah kontrak sosial yang pada gilirannya mengikat pengikut untuk mentaati dan mengikuti perintahnya. Jika kontrak ini dilanggar, gugurlah kewajiban mentaatinya. Sebagai penggantinya, kita harus menentangnya, melawannya, dan bahkan memeranginya. Imam Husein menyebutkan tanda kedua pemimpin yang harus dilawan: memutuskan janjinya. Menarik bila dicermati,
Saya sangat pesimis terhadap mutu hasil Pemilu Daerah dimana-mana selain terjadi money politik, bahkan calon yang terjerat sebagai terdakwa dan di selkan dengan mudahnya dapat terpilih sebagai pemenang dalam pemilukada. Disampimng terbukti dari ditemukannya oleh tim Badan Pusat Statistik, dan P4B (Pendataan Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan), dimana masyarakat banyak yang menolak untuk didaftar sebagai peserta pemilu, karena banyak rakyat yang dikecewakan oleh komitmen para pemimpin yg mereka pilih.

Bila Imam tidak menampilkan aktualisasi diri dengan berinteraksi pada dunianya, nisacaya jubah kepalsuan, kemunafikan terus bersemayam diatas bungkus jubah kesalehan, kepatuhan dan religiusitas lainnya. Obyektivasi adalah hasil yang telah dicapai (baik mental maupun fisik) dari kegiatan tersebut. Dimensi ini ditampilkan pada saat Imam keluar menghadap kemah pasukan ‘Umar ibn Sa'adalah, seraya berteriak: " hai, dengarkanlah ! luangkan sedikit waktu untuk mendengar ucapanku. Puji atas Allah dan shalawat atas nabi serta keluarnya. Telusurilah garis keturunanku, lalu renungkanlah siapa diri kalian, lalu renungkan kembali adakah sedikit alasan untuk mengalirkan darahku dimuka bumi ini ? ....." keterpaduan dan pencapaian mental dan fisik, bahwa, Imam melakukan penyadaran atas kelaliman mereka, dengan ultimatum "...kalian membaca Al-Qur'an, mengaku umat datukku Muhammad, namun kalian sunguh berani membantai putranya..., sampai pada kepada salah satu ucapan Imam sbb :

" man lahu jaddun kajaddi Mushthofa, man lahu abun kaabi haidar, man lahu ‘ammun ka'ammi hamzah man lahu ummum kaummi faathimah, man lahu akhun kaakhi mujtaba".{siapa diantara kalian (baca:tentara pasukan Yazid) yang memiliki datuk (kakek) seperti datuk-ku Mushtofa Muhammad SAW, siapayang diantara kalian memiliki seorang ayah seperti ayah-ku Abu Haidar (Imam Ali ibn Abi Thalib), siapa yang memiliki seorang paman seperti paman-ku Hamzah, siapa yang memiliki seorang ibu sepertii ibu suci-ku Sayyidah Fathimah, dan siapapula yang memiliki saudara (kakak) seperti saudara-ku Imam Hasan}

Internalisasi adalah penyerapan kembali realitas keyakinan dan kedirian ini oleh manusia suatu proses transformasi struktur dunia obyektif ke dalam kesadaran subyektif. Melalui eksternalisasi kebudayaan menjadi produk manusia, Melalui obyektivasi kebudayaan menjadi realitas sui generic. Ketika Imam Husein disuruh untuk berbaiat kepada Yazid, ia menegaskan bahwa Yazid tidak layak menerima kepatuhan rakyat. "Yazid seorang fasik, peminum khamar, dan penumpah darah yang diharamkan," kata Imam Husein. Ketika orang-orang menyebut hubungan kekerabatan antara Imam Husein dengan Yazid -"Anzil ‘ala hukmi ibni ‘ammik- Imam berkata, "Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kepada kalian tanganku dengan kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak." La, wallah, la u'thikum biyadi i'thaa al-dzalil wa la uqirru iqraral ‘abid. Sebuah deklarasi revolusioner untuk kebebasan manusia! Anda bisa saja dipaksa untuk melakukan apa pun, tetapi hati nurani Anda masih punya kebebasan berkehendak. Dalam situasi apa pun, bahkan di kamp konsentrasi sekali pun, kata Viktor Frankl, Anda masih memiliki kebebasan memilih. Tubuh Anda boleh jadi sudah menyerah, tetapi hati Anda masih bebas memilih antara menyerah dan membangkang . Pembangkangan batin tidak dapat dihilangkan oleh kawat berduri sekali pun.

Imam Husein mengajarkan kepada kita bahwa sebelum kita "menuliskan tanda tangan" kepatuhan pada perjanjian kita dengan pemimpin, kita harus mengetahui dahulu kualitas pemimpin itu.

Sayyid Husein Fadhlullah QS menjelaskan kalimat Imam Husein di atas sebagai berikut: "Kepada siapa Anda berbaiat? Kepada siapa Anda berjanji? Kepada siapa Anda menjalin kontrak? Sebelum Anda meletakkan Anda pada tangan siapa saja, pelajarilah kepribadiannya, pelajarilah perjalanan hidupnya, pelajarilah sikapnya kepadamu, pelajarilah alat-alat penindasan yang dimilikinya terhadapmu. Setelah itu, berhatilah-hatilah untuk meletakkan tanganmu di atas tangan seorang manusia yang mempunyai semua alat untuk menindas karena ikatan perjanjian antaramu dgn dia menjadi sebuah perjanjian yg memberikan peluang kepada yg kuat untuk menindas yg lemah.

"Jangan letakkan tanganmu pada tangan seorang manusia yang menginginkan agar tangannya berada di atas tanganmu, untuk memaksa kamu menerima syarat-syarat yang tidak kamu setujui. Jika kejadiannya seperti itu, hendaknya kamu segera menarik tanganmu. Persoalannya adalah apakah kehormatan masih ada padamu atau tidak, apakah kamu dalam keadaan hina atau tidak. Imam Husein mengatakan kalimat di atas karena mereka berkata kepadanya: "Tunduklah kepada hukum putra pamanmu. Tunduklah pada hukum Yazid, supaya ia menetapkan kamu seperti yang ia kehendaki. Tunduklah pada hukum Ibnu Ziyad supaya ia menentukan kamu seperti yang ia kehendaki. Kami berjanji padamu bahwa kamu akan memperoleh perlakuan yang adil, karena putra pamanmu tidak pernah memperlakukan mu kecuali dengan kebaikan".

Pada saat itulah Imam berkata: "Tidak, demi Allah, aku tidak akan menyerahkan kepada kalian tanganku dengan kepasrahan seorang yang rendah; aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak. Tidak mungkin tanganku bersalaman denganmu atau berjanji padamu. Tidak mungkin aku berjalan bersamamu dalam keadaan apa pun selama keadaan itu menunjukkan penghinaan seorang mukmin atau penghinaan perilaku mukmin. Aku tidak akan memberikan pengakuan dengan pengakuan budak."
Imam Husein ingin mengajar semua orang dalam sabdanya seakan-akan ia berkata: Jika kamu ingin mengakui sesuatu atau menyatakan satu pernyataan hendaklah pengakuan itu keluar dari kebebasan kehendakmu, dari pusat keyakinanmu. Engkau hanya mengakui sesuatu yang engkau percayai, karena engkau yakin bahwa sesuatu itu adalah kebenaran, sehingga kamu mampu mengucapkan ‘ya' pada saat kamu mampu mengucapkan ‘tidak'.

"Apabila keadaannya tidak seperti yang engkau yakini, menurut arah yang tidak engkau setujui, atau untuk mengakui hanya karena orang lain berkata kepadamu, ‘Berusahalah untuk memberikan pengakuan" sambil memaksa kamu dengan ancaman, penindasan, atau paksaan; pada saat itu yang terjadi padamu adalah pengakuan seorang budak yang tidak memiliki kemampuan untuk berkehendak. Mengapa? Karena orang lainlah yang menghendaki atau tidak menghendakinya." (Fi Rihab Ahl al-Bayt, 338-339). Dalam konteks KPU, BPS dan P4B, sebenarnya secara tidak langsung sedang disadarkan akan arti sebuah ucapan ya' pada saat rakyat Indonesia mampu mengucapkan ‘tidak'. Secara singkat, Imam Husein berpesan: Taatilah seorang pemimpin atau penguasa selama kamu yakin bahwa ketaatanmu kepadanya didasarkan pada hati nuranimu, pada kebenaran yang kamu yakini. Bila ia memaksamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu yakini sebagai kebenaran, wajib bagimu melakukan perlawanan. Imam Husein juga menegaskan bahwa kamu juga wajib melawan penguasa -siapa saja dia: sejak suami atau atasan kamu sampai kepada orang yang memegang pemerintahan baik eksekutif, legislatif, atau judikatif- bila dia menentang sunnah Rasulullah saw.

Masih dalam khutbahnya yang sama, Imam Husein memperinci karakteristik pemimpin yang menentang sunnah Rasulullah saw: Mereka menimbulkan kerusakan melecehkan hukum, mendahulukan kekayaan, menghalalkan apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkannya. Tugas seorang pemimpin ialah memperbaiki rakyatnya secara ruhaniah dan jasmaniah.

Konon, menurut Rousseau, pada zaman dahulu manusia terus menerus berkelahi karena masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Akhirnya mereka memilih pemimpin untuk menyelesaikan pertikaian di antara mereka. Dibuatlah perjanjian sosial, le contrat social. Tetapi dalam perjalanan sejarah, seringkali pemimpin malah merusak rakyatnya secara ruhaniah dan jasmaniah.

Melalui internalisasi manusia menjadi produk kebudayaan, menurut P.L. Berger, The Sacred canopy. Elements of Sociological Theory of Religion, proses internalisasi Imam Husein , adalah penyerapan akan realitas dimana datuknya pernah mengatakan :"Husein minni wa ana min Husein" , bahwa darah daging, keyakinan, ajaran dan perjuangan Husain adalah implikasi serta implementasi dari datuknya Muhammad, tetapi kemudian transformasi struktur tadi menegaskan bahwa ajaran, keyakinan, risalah, serta nubuwwah datuknya Muhammad, hanya dapat diselamatkan dan ditegakkan oleh dan dengan pribadi serta perjuangan Imam Husain, jadi ini yang menarik dari filosofis "Ana min Husein" kesadaran Imam Husain ini yang menjadi pilar serta cerminan yang dipostulatkan pada cultur (budaya) bagi para penegak kebenaran, keadilan serta kesucian sepanjang masa dan zaman. Dalam artian Islam datang dibawah oleh datuknya Muhammad, dan dikekalkan serta diabadikan oleh pengorbanan Husein. Sehingga analisis perjuangan Imam adalah kehendak nafsu dan egoisme serta kecerobohan belaka dengan sendirinya dapat dipatahkan dan dimentahkan, oleh akal dan logika apapun.

3. Mengangkat Potensi Transendensi

Dimensi transendensi manusia mengungkapkan diri dalam kebebasan, kreatifitas, hubungan antar pribadi, pengharapan dan pengalaman religius. Transendensi adalah "menjadi lebih" bukan dalam konteks kuantitatif, tetapi lebih dalam konteks kualitatif, suatu pendalaman, pemekaran, dan penghayatan hidup atau suatu humanisasi. Hal ini terindikasikan ketika Imam Husein mempersilahkan, para pengikutnya untuk meninggalkan beliau, seraya berkata : "hari ini saat mereka tentara Yazid, sedang lelap dalam kantuknya, dan hari cukup gelap, dibawah saksi bintang gemintang dan rembulan, kuizinkan kalian untuk meninggalkan kami, tiada beban dan kewajiban yang menyebabkan kalian menanggung dosa, atas kami silakan...kalian meninggalkan kami, niscaya Allah dan Rasul senantiasa melindungi kepergian kalian ...!

Dialog transendensi terjadi keluar dari bibir suci Imam Husein, namun apa yang didapati dari jawaban pengikutnya. "Tidak,.....tidak,...dan tidak...! Kami senantiasa selalu bersamamu Imam, maka muka serta wajah yang bagaimana kami harus menghadapkan dihadapan baginda Rasulillah, sementara kami membiarkan engkau wahai Imam rela dibunuh oleh ratusan tentara Yazid, pemegang agama yang korup.


Transendensi versus doktrin Hitler berhadapan diantara kita, bandingkan keimanan dan kepatuhan pengikut Imam Husein dengan doktrin perang salib yang dikobarkan oleh Thariq ibn Ziyad, dengan cara membakar sampan dan perahu kaum muslimin, kemudian membakar semangat mereka kaum muslimin dengan tidak ada pilihan mati ditelan ombak atau ikut berjuang melawan kaum kuffar. Sehingga perjuangan yang dipaksakan, apalagi dengan iming serta janji palsu, akan lahir seperti apa yang kita alami saat ini, di bumi Indonesia yang berpenduduk ratusan juta ummat mengalami krisis kepemimpinan yang memiliki komitmen terhadap apa yang mereka janjikan, serta miskin akan pemimpin yang layak dan patut diteladani.


Bahrudin pemerhati pendidikan dan sosio keagamaan
Kepsek SMA Unggulan Dai Annur
Mantan kepsek SMP Islam Plus Azzahra
Dosen Madina Ilmu

Asyura, Manifestasi Tauhid dan Cinta

Kebangkitan Imam Husein as pada hari Asyura bukan sekedar peristiwa sejarah tapi merupakan budaya revolusioner yang lahir dari jantung Islam dan memegang peranan vital dalam mempertahankan dan mengabadikan ajaran Islam yang hakiki. Meski peristiwa tersebut telah terjadi lebih dari 14 abad yang lalu, namun Asyura memberikan banyak pelajaran berharga kepada manusia yang akan selalu menjadi pelita penerang bagi langkah perjuangan para penegak keadilan dan penentang kezaliman di sepanjang masa.

Pribadi Imam Husein as dengan segala keutamaan dan kesempurnaannya, bukan hanya sesosok insan tapi seorang Manusia seagung sejarah. Perjuangan heroik Imam Husein as di padang Karbala merupakan kebangkitan revolusioner yang berakar dari ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi saw. Karbala menjadi sumber inspirasi dan model perjuangan pelbagai gerakan revolusi besar dunia. Imam Husein mengajarkan kepada sejarah bahwa ketakutan dan sikap menyerah terhadap ketidakadilan dan kezaliman, muncul lantaran menjauhnya manusia dari fitrahnya yang suci.

Pada hari Asyura, dalam suatu peperangan yang tidak seimbang melawan pasukan Yazid, Imam Husein bangkit menentang dan mengubah Karbala menjadi ranah cinta dan pembebasan. Para pencipta sejarah di pentas Karbala adalah lelaki dan perempuan yang lebih mengutamakan kesyahidan di jalan Allah swt ketimbang kehidupan yang hina dan tunduk pada kezaliman, sehingga teriakan kebebasan dan pembebasan pun akan selalu berkobar di sepanjang sejarah.

Asyura juga mengajarkan bagaimana model cinta yang hakiki dan pengorbanan sejati. Meminjam ungkapan Imam Khomeini,
"Pada hari Asyura, ketika detik-detik kesyahidan Imam Husein kian dekat, wajah beliau semakin bersinar-sinar, hingga mampu mengobarkan semangat para pemuda dan sahabat yang mendampinginya untuk berlomba-lomba menuju medan perang meski mereka tahu bahwa tak seberapa lama lagi madu syahadah akan mereka teguk. Apa yang terbetik di hati mereka hanya satu, yaitu menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim demi tegaknya agama Allah walau dengan mengorbankan jiwa dan darah sekalipun".

Tak banyak sahabat yang menyertai perjuangan Imam Hussein as. Meski begitu, mereka yang bergabung dengan kafilah Asyura adalah manusia-manusia pilihan yang pemberani, arif, dan memiliki derajad keimanan dan ketakwaan yang tinggi. Seluruh kualitas kemanusiaan itu menjelma begitu indahnya di tengah kepungan kezaliman dan ketidakadilan yang merajalela di masa itu. Salah seorang sahabat Imam Husein as adalah Hajjaj Ju'fi. Di Sepanjang perjalanan Imam Husein menuju Karbala, ia bertindak sebagai muadzin. Ketika hari Asyura tiba, ia menemui Imam Husein as dan meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran.

Selama di medan perang, ia bertempur begitu gigih dan berani. Hingga kemudian ketika kakinya terluka bersimbah darah, ia datang menghampiri Imam as dan berkata, "Jiwaku adalah tebusan bagimu wahai Sang Pemberi Hidayah Umat. Hari ini aku akan menemui datukmu Rasulullah saw. Hari ini aku akan bertemu dengan ayahmu Ali bin Abi Thalib as. Wahai Pemimpinku, apakah aku sudah bisa membuatmu rela?" Dengan tatapan penuh kasih dan sedih, Imam Husein as menjawab, "Iya. Setelahmu, akupun akan menemui mereka". Segera selepas itu, Hajjaj pun kembali lagi ke medan perang dan dengan gagah ksatria ia bertempur melawan musuh hingga ia pun tumbang gugur syahid.

Di sepanjang sejarah, senantiasa terdapat dua kekuatan utama yang selalu berhadap-hadapan. Yaitu kekuatan kebenaran dan kebatilan. Para nabi dan awliya adalah sebagai representasi kekuatan haq merupakan kalangan penyeru tauhid dan penyembah Allah swt. Mereka berkeyakinan bahwa mengenal dan menyembah Allah swt merupakan satu-satunya jalan kebahagiaan dan kesempurnaan sejati bagi umat manusia.

Imam Husein as dan para sahabatnya di padang Karbala adalah representasi kekuatan kebenaran. Ruh tauhid dan ubudiyah menjelma dengan begitu indahnya pada hari Asyura. Menjelang pertempuran, Imam Husein as mengingatkan, "Apakah kalian tidak melihat bahwa kini ketaatan kepada Allah swt sudah menjadi perkara yang ditinggalkan. Kebenaran tidak lagi dilaksanakan, dan tidak pula berpaling dari kebatilan?"

Kebangkitan Imam Husein as merupakan misi revolusioner yang semata-mata ditujukan untuk memperoleh keridhaan Allah swt. Imam Husein as menegaskan, "Kalian tahu, bahwa kaum ini (Yazid bin Muawiyah dan pasukannya) muncul dengan perintah setan dan berpaling dari perintah Allah swt. Mereka melancarkan kejahatan dan kerusakan di muka bumi dan melanggar larangan Allah swt. Mereka rampas baitul mal untuk kepentingan pribadinya. Apa yang halal mereka haramkan, dan apa yang haram mereka halalkan. Tak ada yang lebih pantas untuk melawan mereka ketimbang diriku".

Selama berdakwah membimbing dan mencerahkan umat, Imam Husein melaksanakannya secara bertahap dan ketika cara-cara dialog dan islah tak lagi efektif, beliau pun menghadapi dua pilihan dilematis: mempertahankan ajaran Islam atau nyawanya sendiri. Namun di mata beliau, mempertahankan Islam lebih utama ketimbang apa pun karena itu beliau lebih memilih pilihan tersebut dengan cara bangkit menentang kezaliman dan kesyirikan. Seraya menukil hadis Rasulullah saw, Imam Husein as berkata, "Barang siapa yang melihat adanya seorang penguasa zalim yang menentang hukum-hukum Allah, bertindak dosa di tengah-tengah umat dan memusuhi hamba-hamba Allah, namun ia tidak menentang dan mencegahnya dengan ucapan atau tindakan, maka Allah swt layak untuk memasukkan orang semacam itu ke dalam golongan orang-orang yang berbuat zalim".

Asyura adalah madrasah yang mengajarkan kesetiaan dan komitmen terhadap janji. Pada malam Asyura, Imam Husein as meminta sahabat-sahabatnya untuk meninggalkan beliau jika ingin bertahan hidup dan menyelamatkan diri. Namun seluruh sahabat Imam Husein dengan serentak memutuskan untuk tetap berjuang bersama beliau hingga titik darah penghabisan. Mereka berkata, "Kalaupun harus terbunuh ratusan kali hingga tercabik-cabik dan jasad kami dibakar kemudian dihidupkan lagi kami tetap bersama engkau. Sebab engkau adalah putra Rasulullah, pemimpin, dan imam kaum muslimin. Kami senantiasa menyertai dan siap mengorbankan jiwa".

Imam Husein as menyeru umatnya untuk membantu agama Allah swt. Pada hari Asyura, setiap kali salah seorang sahabatnya meminta ijin untuk maju ke medan pertempuran, beliau membacakan sal-Ahzab ayat 23 yang artinya: "Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya)".

Perbudakan dan penawanan manusia merupakan hal yang bisa menistakan harga diri seorang manusia. Penistaan sungguh dikutuk oleh Allah swt dan Rasulnya. Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang rela menerima penghinaan terhadap dirinya niscaya ia bukan dari golongan kami". Sebab Allah swt senantiasa menghendaki kebebasan bagi hamba-hambanya dan mengecam ketundukan kepada penguasa yang zalim. Imam Husein as berkata: "Ketahuilah bahwa Ibnu Ziyad telah memberiku dua pilihan. Kehinaan atau pembantaian. Kami tidak akan pernah memilih kehinaan. Sebab Allah, kaum mukiminin dan semua orang bijak tidak akan merelakanku memilih kehinaan. Mereka tidak akan menerima alasanku mengikuti orang-orang durjana itu".

Kebangkitan Imam Husein as bergerak dengan rasionalitas dan kesadaran untuk melindungi kemuliaan manusia. Revolusi abadi ini sarat akan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang abadi. Dengan menelisik ke dalam batin peristiwa Karbala dan merenungi kembali keindahan moral yang tercipta dalam peristiwa heroik yang agung itu, niscaya semua makhluk akan mengagumi kebesaran dan kepahlawanan Imam Husein as serta kesetiaan sahabat-sahabatnya. Sejarawan AS, Washington Irving menuturkan, "Di bawah terik matahari yang membakar di padang tandus, di atas pasir sahara Irak yang membara, JIWA Husein abadi tak bisa dimusnahkan. Wahai Pahlawan, wahai Teladan luhur Keberanian, Engkau Ksatriaku wahai Husein!"

Setiap misi dan pesan yang sejalan dengan akal dan fitrah manusia niscaya tak akan lekang oleh zaman dan selalu abadi. Hakikat dan keindahan pesan tersebut akan senantiasa terpatri dalam jiwa manusia. Kebangkitan Imam Husein adalah REVOLUSI ILAHI yang bersumberkan pada kecintaan terhadap Allah swt. Tentu saja, revolusi agung semacam itu tidak akan pernah terhapus dalam lembaran sejarah dan akan senantiasa hidup mengobarkan semangat setiap generasi untuk bangkit menegakkan keadilan dan menentang kezaliman. Imam Husein as berkata, "Penyabar adalah orang yang mengabaikan kepentingan duniawi, dan tabah dalam menghadapi pelbagai bala cobaan".

Monday, December 20, 2010

Husain dan Yesus (Serial Artikel Asyura 3)

Wahai para pembunuh Husain

Ketahuilah, kalian akan dapatkan azab dan siksa

Kalian telah dilaknat melalui lisan putra Daud

dan Musa serta pembawa Injil.

Yesus Kristus telah melaknat para pembunuh al-Husain as dan memerintahkan Bani Israil agar melaknat mereka. Ia berkata,

“Barangsiapa yang hidup pada zamannya, hendaklah ia ikut berperang bersamanya. Maka, ia akan menjadi seperti orang yang mati syahid bersama pada nabi yang terus maju pantang mundur. Seakan-akan aku melihat tempatnya. Setiap nabi pasti mengunjunginya".

Ia berkata,

"Engkau adalah tempat yang memiliki banyak kebaikan. Padamu akan dikuburkan bulan yang cemerlang."[Kâmil al-Ziyârat, Ibn Quluwaih, hal. 67].

Kutipan ini mengandung tiga butir penting:

1] Laknat Kristus terhadap para pembunuh al-Husain as dan perintahnya kepada Bani Israil agar melaknat mereka;

2] Dorongan untuk berperang bersamanya dengan menjelaskan bahwa kesyahidan dalam perang ini adalah seperti berperang bersama para nabi;

3] Penegasan tentang ziarah para nabi ke tanah Karbala dengan penegasan yang sempurna bahwa “setiap nabi” pasti menziarahinya.

Beberapa sumber sejarah [di antaranya lihat Ikmâl al-Dîn karya al-Shaduq, hal 295.] menyebutkan bahwa Yesus putra Maria as pernah melewati tanah Karbala. Ia berdiri di tempat tragedi itu, mengutuk para pembunuh al-Husain as, dan orang-orang yang telah mengalirkan darahnya yang suci di atas tanah tersebut.

Ketika Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as melewati serta menyinggahi Karbala dalam perjalanannya ke Shiffin, ia menunjuk ke suatu tempat dan berkata,

“Di sinilah tempat pemberhentian mereka dan tempat penambatan kendaraan mereka.”

Ia menunjuk ke tempat lain dan berkata,

“Di sinilah tempat darah mereka tertumpah; sungguh beban bagi keluarga Muhammad yang singgah di sini.” [Rijâl al-Kasyi, hal. 13]

Kemudian, ia berkata lagi,

“Beruntunglah engkau, wahai tanah! Padamu, orang-orang yang akan masuk surga tanpa dihisab akan berkumpul.”

Ia menangis, dan orang-orang yang ikut bersamanya ikut menangis pula. Lalu ia memberitahukan kepada mereka bahwa putranya, al-Husain, akan gugur di sini, yaitu ia beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya.

Menurut kriteria-kriteria kemanusiaan konvensional, setiap individu yang memiliki sifat tertentu pasti tersentuh ketika mengunjungi tempat-tempat yang biasa dikunjunginya; atau ketika berkumpul bersama para pengunjung lainnnya; atau ketika menantikan orang seperti dia datang ke sana. Sementara itu, menurut kriteria-kriteria kemuliaan Ilahi, amanat-amanat kenabian serta kesyahidan sering diucapkan oleh para nabi dan berputar di antara lisan para imam. Maka, mereka membuka jalan untuk kepentingan tersebut dan membiasakan diri untuk menerima hal yang serupa dengan apa yang mereka nantikan, yang menyempurnakan apa yang telah mereka rintis dalam kesempatan yang telah dipersiapkan oleh Allah bagi mereka.

Seorang nabi seperti Yesus as dan seorang syahid seperti putra Maria as pasti mengetahui perkara Sang Syahid yang akan datang sepeninggalnya untuk menyempurnakan apa yang telah dirintisnya, yaitu penegakkan kebenaran, pembelaan bagi kaum teraniaya, dan pembebasan manusia dari perbudakan.

Lembaran yang dibaca Yesus as tentang kedatangan al-Husain as juga dibaca oleh Yohanes Pembaptis ketika menantikan kedatangan Kristus as. Diilhamkan kepada keduanya perkataan yang jelas dan nubuat yang nyata. Yesus as berkata, “…yang datang kemudian daripadaku. Membuka kasutnya pun aku tidak layak.” [Yohanes 1:27-28]

Dalam ayat al-Quran yang mulia disebutkan, Ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan juga darimu, dari Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.

Ini menunjukkan bahwa perjanjian para nabi dan syuhada diambil dari mereka sebelum mereka ada, dan bahwa tidak ada tempat menghindar dari kejelasan perjanjian ini sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt.

Dalam Injil Yohanes, Kristus mengabarkan kepada murid-muridnya tentang akan diutusnya mu’ayyid (penghibur) bagi kesyahidannya, yang menyempurnakan pengibaran panji kebenaran Ilahi sepeninggalnya di atas dosa, kebaikan, dan penghakiman. Maka Yesus as berkata:

Tetapi sekarang aku pergi kepada Dia yang telah mengutusku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepadaku, “Ke mana engkau pergi?” Tetapi karena aku mengatakan hal itu kepadamu, sebab itu hatimu berduka cita. Namun benar yang kukatakan ini kepadamu, “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika aku pergi. Sebab jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu. Tetapi jikalau aku pergi, aku akan mengutus dia kepadamu.” Dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman.[Yohanes 16:5-8]

Sebagian Lahutiyyûn (mistikus Kristen—peny.) menafsirkan mu’ayyid dengan “Roh Kudus”. Akan tetapi, makna-makna yang dirujuk dengan kata “Roh Kudus” yang disebutkan dalam empat Injil (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) berbeda dengan makna kata mu’ayyid. Sebab, sekiranya kita membuka lembaran-lembaran Injil dan mencermati nasihat-nasihat serta tamsil-tamsil Kristus, maka hal itu akan menjelaskan kepada kita bahwa Kristus mengucapkan kata mu’ayyid hanya sebelum pengembaraannya, dan karena dalam semua nasihatnya, ia menyebut Roh Kudus dengan “Roh Kudus”, tidak dengan nama lain yang memungkinkan penakwilan dan penafsiran mu’ayyid sebagai “Roh Kudus”.

Dalam Injil Yohanes disebutkan bahwa Kristus as bercakap-cakap dengan seorang perempuan Samaria. Ia berkata:

Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran…Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahnya dalam Roh dan kebenaran.[Yohanes 4:21-24]

Di sini ada isyarat yang jelas bahwa Roh adalah kebenaran (al-Haqq). Ketika Kristus menyingkap rahasia Roh Nikodimus, ia berkata:

Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, Dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh. [Yohanes 3:6]

Dalam Injil Lukas, ada penjelasan yang lebih baik tentang makna “Roh Kudus”, yaitu ketika Kristus berkata kepada murid-muridnya:

Apabila orang menghadapkan kamu ke majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu khawatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan. [Lukas 12:11-12]

Dalam frase: “Roh Kudus akan mengajar kamu”, terdapat isyarat bahwa Roh Kudus adalah sesuatu yang bersifat khayûlî yang tidak bisa diraba dan dilihat. Ketika ia hadir, maka ia hadir sebagai ilham dan inspirasi, bukan fisik materi.

Inilah yang dikuatkan dengan ucapan Kristus kepada murid-muridnya di Nazaret: “Roh Tuhan ada padaku, oleh sebab Ia telah mengurapi aku.”

Kristus bisa saja mengganti setiap apa yang diucapkannya tentang Roh Kudus dengan kata mu’ayyid, sehingga ia berkata, “Mu’ayyid akan mengajar kamu”, untuk menggantikan mengganti kata “Roh Kudus”.

Dalam semua nasihatnya, Kristus berbicara tentang Roh Kudus dengan kata “yang paling kuat” dan “yang paling tinggi”. Ia menempatkan dirinya pada tempat “yang paling hina” dan “pelaksana”. Maka Roh Bapa datang kepadanya, sedangkan Roh Kudus memberi pengajaran kepada murid-muridnya.

Namun ucapannya, “Sebab jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu,” ditafsirkan sebagai satu hal yang berada di bawah kekuasaan Kristus yang bisa didatangkan kapan saja. Hal ini berbeda dengan makna-makna yang dijelaskan sebelumnya, yang di dalamnya ia berbicara tentang Roh Kudus dan menyebutnya sebagai Bapa Surganya (Tuhan Bapa) yang diilhamkan dan diajarkan kepada murid-muridnya, tanpa ada kekuasaan atasnya. Kekuasaan Roh adalah yang tertinggi di atasnya. Sementara itu, di atasnya tidak ada sesuatu apa pun, kecuali ketundukan kepadanya.

Perbedaan itu jelas dan nyata di antara frase: “Roh Kudus memberi pengajaran kepada kamu” dan “jikalau aku tidak pergi, penghibur (mu’ayyid) itu tidak akan datang kepadamu.” Roh Kudus, pada frase pertama, adalah tiupan khayûlî yang berhubungan dengan pemikiran dan batin, dan Kristus tidak memiliki kekuasaan atasnya. Bahkan, ia tunduk kepadanya. Sementara itu, mu’ayyid pada frase kedua adalah esensi materi yang memiliki beberapa dimensinya, dan Yesus memiliki kekuasaan untuk mendatangkannya kepada manusia.

Untuk menguatkan makna ini, ditegaskan makna bahwa Roh Kudus adalah tiupan khayûlî, tidak seperti penafsiran bahwa mu’ayyid adalah apa yang disebutkan dalam nyanyian Zakaria: “Dan Zakaria, ayahnya, penuh dengan Roh Kudus, lalu bernubuat, katanya, ‘Terpujilah Tuhan…’” (dan seterusnya). [Lukas 1:67]

Juga, ketika Maria putri Imran, yang dilamar oleh Yusuf sebelum mereka tinggal bersama, didapati telah hamil dari Roh Kudus, yaitu tiupan dari Allah, dan dengan perintah dari sisi-Nya.

Dalam al-Quran disebutkan, Jika mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah bahwa ruh adalah urusan Tuhanku [QS. Al-Isra: 85] dan Kami memberi penjelasan kepada Isa putra Maryam dan mengokohkannya dengan ruh kudus.[QS. Al-Baqarah 87]

Dalam Injil Matius ada kalimat, “Dialah yang membaptis dalam Roh Kudus.”

Dalam Injil Lukas ada kalimat, “Sesungguhnya Bapak Surga (Tuhan Bapa) akan memberi orang yang memintanya dengan nama Roh Kudus.”

Dalam Injil sendiri dikatakan, “Sesungguhnya Roh Kudus akan berkata dengan bahasa kamu tentang ketidakadilan.”

Dalam Injil Yohanes dikatakan, “Sesungguhnya Roh Kudus akan membimbing kamu kepada kebenaran;” “Roh Kudus akan menundukkan alam;” dan “Ambillah Roh Kudus oleh kamu.”

Kata mu’ayyid tidak disebutkan kecuali pada akhir dari keempat Injil. Dalam sebagian kandungannya, kata itu ditafsirkan dengan “Roh Kudus”, yang tidak memberikan celah bagi keraguan bahwa penafsiran itu lemah dan tidak mencapai sasaran yang dimaksud oleh ucapan Kristus as. Jika kita mencermati frase tersebut, maka “Roh Kudus” disebutkan dalam banyak tempat dari keempat Iinjil dalam makna yang bertentangan dengan sifat mu’ayyid berkaitan dengan tingkatan dan aspek kemampuan keduanya.

Jika kita mengaitkan kata mu’ayyid dengan klausa “aku datangkan kepada kamu” dan “dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman,” maka akan menjadi jelaslah bagi kita bahwa mu’ayyid adalah seorang manusia dan esensi materi yang dikuatkan oleh Yesus as dan diberi bendera kebenaran yang deminya ia mati syahid.

Setelah Kristus as, datanglah Muhammad saw sebagai penutup para nabi. Setelah risalah Islam, tidak akan ada lagi rasul dan pemberi petunjuk kepada manusia.

Apakah Kristus as Mengabarkan Kedatangan al-Husain as?

Dari penafsiran sebelumnya, kita tahu bahwa mu’ayyid adalah esensi materi yang menguatkan kesyahidan Yesus as. Penguatan kesyahidan hanya bisa terjadi dengan kesyahidan lain yang serupa, yang penderitaan dan bentuknya berpangkal pada kekerasan jiwa orang-orang pada zaman yang dialaminya. Sekiranya kita merenungkan, maka kita akan melihat bahwa tidak ada kesyahidan besar yang terjadi setelah kesyahidan Yesus as selain kesyahidan putra kesayangan Nabi Muhammad, keturunan kenabian, dan orang yang diberi makan melalui ibu jari beliau. Itulah kesyahidan yang disebutkan melalui lisan Syahid Kristus, dan yang membawa Kristus ke tempat kesyahidannya di Karbala beberapa abad sebelum kita.

Seakan-akan, ketika menerawang kejadian-kejadian mengerikan yang akan dialami oleh al-Husain as di tanah yang dikunjunginya itu, Yesus as sangat emosional dan mengutuk orang-orang yang membunuhnya dan memerintahkan Bani Israil agar mengutuk mereka. Ia juga menganjurkan kepada orang-orang yang mengalami hidup pada zaman al-Husain agar ikut berperang bersamanya.

Apa nilai kriteria kesyahidan al-Husain as dalam perjalanan postulat-postulat ketuhanan dan keseimbangan-keseimbangan kemanusiaan?

Sebagai sebuah kesyahidan, keagungan dan kepentingan hasilnya memasuki batas-batas kenabian dan kesyahidannya mencapai batas-batas kekudusan serta keabadian yang ada dalam kenabian, sehingga al-Husain menjadi personifikasi kenabian. Ya, al-Husain as menjadi serupa dengan para rasul.

Tidak ada yang aneh dalam hal ini selama tidak keluar dari apa yang telah diwasiatkan Yesus as kepada Bani Israil dan yang dianjurkannya kepada mereka agar berperang bersama al-Husain, dengan menjelaskan bahwa kesyahidan bersamanya adalah “seperti kesyahidan bersama para nabi”.

Tidak juga ada yang aneh dalam keserupaan al-Husain dengan para rasul selama tidak keluar dari apa yang dinyatakan oleh Nabi Muhammad dengan sabdanya, “Husain dariku dan aku dari Husain.” Nabi saw mengawali pernyataannya dengan mengarahkan perhatian kepada keberadaan al-Husain sebagai bagian darinya sebelum menyatakan bahwa beliau adalah bagian dari al-Husain.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai penyebutan mu’ayyid yang dijanjikan oleh Kristus as dengan mendatangkannya untuk menjadi syahid bagi kebenaran, hendaklah kita memperhatikan bahwa ia menyebutnya sebagai mu’ayyid, bukan mu’ayyad.

Menurut kamus bahasa, mu’ayyid adalah ‘orang yang meneguhkan, menguatkan, dan membantu orang lain’. Misalnya adalah kalimat, Ayyada fulânun fulânan, artinya ia berdiri di pihaknya dan mendukung pendapat serta sikapnya di hadapan orang lain.

Sementara itu, mu’ayyad artinya orang yang didukung pendapat dan sikapnya. Dalam hal ini, ia sebagai ism maf‘ûl bih (yang dikenai pekerjaan), sedangkan mu’ayyid sebagai ism fâ‘il (yang melakukan pekerjaan).

Sekiranya Yesus as menyebut mu’ayyad, maka dialah yang menjadi mu’ayyid-nya dalam posisi fâ‘il, dan orang yang akan didatangkannya adalah maf‘ûl bih.

Dalam Injil yang ditulis dalam bahasa Yunani, disebutkan kata bârâkiltus, artinya mu‘azzî dan mu’ayyid (orang yang menguatkan). Mu‘azzî dalam bahasa Arab sama artinya dengan mu’ayyid.

Jadi, menafsirkan mu’ayyid menjadi “Roh Kudus” tidaklah tepat karena berada dalam kekuasaan Kristus as untuk mendatangkannya agar menjadi syahid baginya, yaitu pengertian yang bertolak belakang dengan penafsiran tersebut. Selain itu, justru Roh Kudus-lah yang menguasai Kristus. Inilah yang ditegaskan oleh Kristus as kepada murid-muridnya dalam jamuan terakhir. Ketika itu, ia berkata:

Kebenaranlah adalah kebenaran yang aku katakan kepada kamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya. Dan seorang utusan tidaklah lebih tinggi daripada dia yang mengutusnya. [Yohanes 13:16]

Karena yang mengutusnya adalah Allah, maka dia berbicara dengan kalam Allah.

Orang-orang pilihan Allah telah diistimewakan dengan pelaksanaan secara jujur dan mutlak apa yang Allah tampakkan kepada mereka dan yang Dia perintahkan kepada merkea. Mereka pun melaksanakan tugas mereka menurut ilham dari Roh Kudus. Dalam berbuat, mereka bukan alat yang tuli tanpa tanggung jawab, dan tidak bersikap kepadanya dengan sikap yang netral.

Mereka adalah pribadi-pribadi merdeka yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu Ilahi dan menyampaikannya kepada generasi-generasi berikutnya. Dalam berpikir, berbicara, dan berbuat, mereka berbuat dengan gerakan dari Roh Kudus dan dengan pertolongan-Nya. Sebab, Dia menerangi akal mereka dan menguatkan kehendak mereka untuk menggunakan kemampuan-kemampuan pikiran mereka agar dapat mengungkapkan wahyu Ilahi, serta mengokohkan langkah mereka ketika tiba batas waktu perjalanan yang telah diilhamkan.

Al-Husain as adalah cucu Nabi Muhammad, penghulu pemuda penghuni surga, bapak syuhada sepanjang umur manusia. Ia adalah salah satu dari mereka yang diberi keistimewaan oleh Allah Swt dengan ilham internal untuk memperbaiki urusan agama dan memandu manusia yang tersesat dari jalan keselamatan mereka. Dia maju dengan tegar ke tempat dan arena kesyahidannya.

Dari tuntutan kelebihan-kelebihan yang dikhususkan oleh Allah Swt kepada orang-orang pilihan-Nya, kita menemukan bahwa mu’ayyid yang diucapkan Kristus as adalah nama yang digunakan untuk menunjukkan esensi manusia pilihan.

Susunan dan tingkatannya secara universal berbeda dari karakteristik Roh Kudus yang digunakan untuk menunjukkan Zat Allah Yang Mahatinggi. Sebab, tidak mungkin dan tidak masuk akal bila Kristus mengatakannya dengan maksud bahwa dialah yang akan mengutus rasul dari sisinya kepada Tuhannya Yang Mahatinggi.

Demikian pula, tidak logis bila yang dimaksud oleh Kristus as adalah mengutus rasul lain seperti dia. Namun, pengertian yang paling dekat pada penafsiran yang logis adalah kuasa Kristus as untuk mengutus orang yang tingkatannya berada di bawah dia sebagai seorang nabi.

Dua frase: “yang kuutus” dan “yang mengutusku”, keduanya dirangkaikan dengan kata “mu’ayyid”. Selanjutnya, frase itu dirangkaikan dengan dua frase: “dia yang bersaksi untukku” dan “dia membimbing kamu kepada kebenaran seluruhnya”, yang mendefinisikan dengan jelas dan menentukan tugas utama dan satu-satunya dari mu’ayyid tersebut.

Hal itu diabstraksikan dalam penguatan terhadap kesyahidan Yesus as dan bimbingan kepada kebenaran yang dikabarkannya. Penguatan ini hanya bisa terjadi dari inti tujuan yang dimaksud. Dengan demikian, kesyahidan itu tidak dikuatkan kecuali dengan kesyahidan yang serupa, dan kepahlawanan tidak dikuatkan kecuali dengan kepahlawanan juga. Atas dasar kriteria ini, hal-hal yang memiliki karakteristik-karakteristik yang sama adalah identik.

Jika kita membandingkan semua pernyataan di atas dengan pernyataan al-Husain as: “Barangsiapa yang menerimaku dengan menerima kebenaran, maka Allah lebih berhak atas kebenaran itu,” maka pertanyaan yang logis, yang didukung oleh kepuasan aksiomatis, masuk ke dalam pemahaman-pemahaman yang logis. Agar bisa keluar darinya secara lebih transparan dan lebih jelas, hendaklah dikemukakan pertanyaan ini: Apakah yang dimaksud oleh Yesus as dengan mu’ayyid itu adalah al-Husain as?”

Sebelum akal manusiawi dan wahyu internal kita menunjukkan jawaban yang logis terhadap pertanyaan ini, kita harus menafsirkan apa yang dimaksud dari ucapan Yesus as tentang pengutusan mu’ayyid. Mudah-mudahan, pada akhir perjalanan ini bersama logika dan akal, kita sampai kepada pemahaman batiniah dan logis yang jelas tentang esensi mu’ayyid tersebut.

Yesus as berkata, “Dan kalaupun dia datang, dia akan menginsafkan dunia atas dosa, kebenaran, dan penghakiman”.

“Atas dosa”… karena dosa itu akan menghitam dan menjadi aksioma dalam perasaan esensi manusia. Dosa menjadi sangat keji di suatu tempat pada zaman kedatangan mu’ayyid, dimana dia akan menghapusnya dengan kesyahidannya yang menggema.

“Atas kebenaran”… karena kebenaran tidak dipraktikkan. Kebenaran dijauhi oleh jiwa manusia. Sebaliknya, manusia taat kepada setan, meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, dan menampakkan kerusakan, menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.

“Atas penghakiman”… karena penghakiman (pemerintahan) hampir berhasil mencabut akar agama Allah Yang Mahaesa selama zaman risalah ketiga—Islam. Akar ini harus dikembalikan kepada tanah Ilahinya.

Marilah kita merenungkan ucapan al-Husain as yang dipekikkan terhadap upaya pencabutan ini: “Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menolak hal itu untuk kita.”

Jika kata kebenaran dan penguatnya mengalir pada lisan Yesus as, maka hal itu merupakan ajakan kepada kita agar kita mencermati secara mendalam “penerimaan kebenaran”. Ungkapan itu pula yang mengalir pada lisan al-Husain as. Maka, kebenaran adalah milik Allah dan keagungan-Nya lebih pantas atasnya. Keagungan itulah yang membawa bendera tiga risalah samawi-Nya, dan kebenaran itu adalah satu-satunya bilangan penyebut yang padanya risalah itu didakwahkan dan untuknya disebarkan.

Dalam rahasia ini tersembunyi ucapan Syahid al-Husain as: “Allah lebih berhak atas kebenaran itu.” Ia tidak mengatakan, “Muhammad, Yesus, atau Musa, dan tidak pula Islam, Kristen, atau Yahudi. Akan tetapi, ia berkata, “Allah.” Sebab, Dialah yang mengirim risalah-risalah dari sisi-Nya, yang mengatur ucapan dan perbuatan kebenaran, dan yang memilih para pembawa dan syuhadanya.

Yesus mengucapkan perkataan ini semata-mata setelah ia melihat dengan matanya, mendengar dengan telinganya, dan meraba dengan tangannya bagaimana kebenaran itu tidak dipraktikkan dan kebatilan tidak dicegah.

Ia mengajak orang-orang pada kebenaran Ilahi dengan perbuatan baik dan keteladanan yang suci. Ia berkata, “Aku mengajak kalian untuk menghidupkan ajaran-ajaran kebenaran. Jika kalian menyambutnya, maka kalian ditunjuki di jalan yang benar.”

Ketika Kristus as berbicara kepada murid-muridnya bahwa akan datang mu’ayyid serta menjanjikan kepada mereka tentang kesyahidannya dan bimbingan untuk mereka kepada kebenaran, maka sebutan “mereka” yang ia maksudkan bukan hanya murid-muridnya tetapi juga manusia dari generasi-generasi yang akan datang, orang-orang yang tertindas setelah mereka. Ia datang sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi petunjuk kepada semua manusia, bukan hanya kepada dua belas muridnya.

Dalam kunjungan Yesus as ke Karbala, tempat kesyahidan al-Husain as, ia mengabarkan kesyahidan Sang Syahid ini, melaknat para pembunuhnya, dan meminta orang-orang yang hidup pada masa tersebut agar ikut berperang bersamanya. Lalu, sebelum kematiannya, Yesus as berjanji akan mengutus mu’ayyid yang akan menjadi syahidnya di tengah manusia. Hal itu agar kehendak Tuhan Yang Mahatinggi dan Mahakuasa sampai ke tangga keabadiannya, menyempurnakan nubuat-nubuat para nabi, menempatkan tiga risalah samawi di dalam batin manusia, dan menyebarkan akidah agama yang universal ini ke dalam relung-relung dada tiap manusia secara final, sehingga semua kesesatan tidak mengalahkannya.

Inilah yang dikuatkan oleh bukti-bukti dalam zaman dan kemanusiaan. Inilah yang dimantapkan dengan pergantian waktu, sehingga risalah-risalah itu mengungguli kekuatan-kekuatan kejahatan, dan keyakinan-keyakinan agama tumbuh di dalam jiwa sehingga tidak mudah dicabut.

Dengan melihat sepintas kepada jutaan orang beriman yang mendatangi kuburan al-Husain as dan tempat-tempat ziarah Ahlulbait as di mana pun, sudah cukup bagi kita untuk mendukung pendapat ini, bahwa kekuatan akidah semakin besar dan semakin kokoh di dalam jiwa. Dalam kecintaan orang-orang beriman untuk bernaung di bawah kesyahidan al-Husain as, terdapat panas yang menyala-nyala, yang tidak akan dingin di dalam hati mereka untuk selamanya selagi mereka beriman dan menempuh jalan yang lurus.

Sekiranya tidak ada kesyahidan al-Husain, maka bagaimana mungkin kebatilan akan tampak batil? Sekiranya tidak ada pilihan Ilahi terhadapnya, dan sekiranya kakeknya, Nabi saw, tidak mendidiknya dengan pendidikan kenabian, bagaimana mungkin akhlak Sang Syahid ini bisa terbentuk? Sehingga kemanusiaannya naik ke tempat (maqam) kenabian sang kakek: “Aku dari Husain”, dan kenabian sang kakek turun ke tempat kemanusiaan cucunya: “Husain dariku”.

Tidak ada yang aneh dalam hal itu. Karakteristik-karakteristik bawaan berpindah dari kakek ke ayah lalu ke ibu. Sang cucu, al-Husain, dalam hal ini mewarisi karakteristik-karakteristik kakeknya dalam bentuk pemuliaan terhadap agama dan kesiapan untuk mengorbankan apa pun yang paling berharga untuk membelanya.

Sabda Nabi Muhammad, “Husain dariku dan aku dari Husain” dan “Ya Allah, cintailah ia karena aku mencintainya” bermakna kesyahidan dan tugas.

KESYAHIDAN…karena Nabi saw telah mengamanatkan bendera Islam kepadanya, kepada cucunya, al-Husain yang merupakan bagian darinya.

TUGAS… karena anak yang dicintainya dimohonkan kepada Tuhan agar mencintainya dengan kesyahidan hingga mampu melindungi akidah dan membela ruh agama dari penyia-nyiaan dan peremehan yang bisa menyebabkan kesirnaannya. Dengan demikian, kesyahidan ini, dan tugas ini, merupakan simbol yang besar dan abadi bagi kebangkitan sang cucu dalam membela akidah sang kakek, sehingga: “Islam, permulaannya adalah Muhammadi dan kelangsungannya adalah Husaini.”

Al-Husain as, belahan jiwa kerasulan, melaksanakan tugas yang tidak kalah pentingnya dari tugas kakeknya. Ia mempertahankan Islam sebagaimana dikabarkan oleh kakeknya yang mulia. Ia menyimpan titipan yang berharga itu di dalam hati kaum Muslim dan membangunkan mereka dari tidur lewat kewajiban untuk menjaga titipan itu sebagai sesuatu yang paling berharga dari segala yang mereka miliki.

Akidah, seperti semua pengetahuan, merupakan satu faktor yang senantiasa menyertai kehidupan. Dengan kehidupan, faktor itu beraksi untuk hidup, dan bergerak bersamanya untuk naik. Jika keduanya tidak saling berinteraksi, kehidupan akan tetap berupa kedurhakaan dan akidah akan tetap berupa nyala api yang terbalik sehingga cahayanya padam dan panasnya hilang, alih-alih menjadi mercusuar yang cahayanya dapat menuntun penglihatan yang buta.

Demikianlah, al-Husain Sang Syahid as adalah syahid yang paling mirip dengan Kristus as dan kesyahidannya paling dekat kepada substansi kekristenan. Dengannya, disempurnakan kesyahidan-kesyahidan besar yang memiliki kegunaan untuk mengubah perjalanan agama-agama dan akidah-akidah manusia.

Apakah Kristus as mengabarkan al-Husain as ketika ia berbicara tentang mu’ayyid?

Marilah kita renungkan![]



Antoane Bara adalah pemikir Kristen Suriah yang menggeluti sejarah dan sastra Arab. Ia adalah pemimpin suratkabar Syabakah al-Hawâdits dan juga anggota Persatuan Penulis Arab. Tulisan ini diterjemahkan dari sebagian buku Al-Husayn fi al-Fikr al-Masihi (Nurul Kautsar, 2004)

Sunday, December 5, 2010

Islamic-Iranian Model of Progress called for

Islamic-Iranian Model of Progress called for
(2010/12/01 - 23:09)

Islamic Revolution Leader Ayatollah Sayyed Ali Khamenei hosted a four hour conference Wednesday night on the status and nature of strategic thoughts in the Islamic Republic of Iran where scores of thinkers and professors from the universities and the Howza (school of religious sciences) exchanged views on the fundamentals of an Islamic-Iranian model of progress.

Ayatollah Khamenei in a speech to the meeting urged for applying all existing capacities in the country in developing the model.

Ayatollah Khamenei said such a model would deal with the four realms of intellect, science, lifestyle and spirituality and shall serve as an upper hand document for any future visions or planning.

Ayatollah Khamenei said the planners need to avoid haste as the Islamic-Iranian model could only be developed in a long term or more optimistically in a mid term process. The IR Leader noted however that the process shall run on a rational speed.

Ayatollah Khamenei said the Islamic-Iranian model of progress shall set the objectives while its strategies shall be subject to modifications in the course of time, pointing to an element of flexibility within the texture of the prospective model of progress.

Ayatollah Khamenei then expounded on the four aspects of the term "Islamic Iranian model of progress," saying that the model was meant to be a master, comprehensive plan. "In absence of a master plan, we might suffer the failure of adopting contradictory measures as we have done on certain economic or cultural issues in the past thirty years," Ayatollah Khamenei said.

The notion of Islamic, Ayatollah Khamenei said, requires the model to pursue Islamic teachings when it comes to set aspirations, values or methods. "Our society and government are Islamic. We are proud that we could draw up our own model of progress based on Islamic resources," the IR Leader said.

As regards the notion of Iranian, Ayatollah Khamenei said the model shall consider historical, geographical, cultural, economic and social conditions of Iran. "The term also points to the origin of the model. It is actually an effort by the thinkers of the land of Iran to draw up the future of the country," he said.

As for the notion of Progress, Ayatollah Khamenei said "progress" has been used intentionally instead of the notion of "development" which pragmatically connotes those values and requirements which are common in the west and which contravene the ideas and beliefs of Iran.

Ayatollah Khamenei said the Islamic-Iranian model of progress shall designate a favorable situation to be achieved as well as how to reach it, adding that the notions of Islamic or Iranian do not necessarily mean to provide an imperative to overlook the experiences of others rather Iran welcomes to any knowledge outside albeit with open eyes and eclectic mood.

Ayatollah Khamenei urged the audience to take and answer any questions or enquiries concerning the model, adding that the current time was a favorable juncture for the development of the model in light of a thirty year old experience of Islamic government in Iran as well as ampleness of talents and thoughts in the society.

Touching on the four realms with which the model shall deal, Ayatollah Khamenei said the model of progress shall drive the society towards intellectuality and help it beam with thoughts and intellect.

Concerning the realm of science, the IR Leader urged for steadfast continuation of the ongoing innovative drive in the country for the purpose of scientific independence, adding that the model of progress shall help set the tracks and milestones of a comprehensive and profound progress in the realm of science.

The IR Leader said the Islamic-Iranian model of progress shall also help tackle major issues of societal life including security, justice, welfare, freedom, government, independence and national dignity.

As for the realm of spirituality, Ayatollah Khamenei described spirituality as soul for the body of progress.

Ayatollah Khamenei noted that human would be able to attain perfection after the reappearance of the Imam of Age, Hazrat Mahdi (may God hasten his reappearance). "Human has endured challenges of life in the course of past millennia but would find the track of genuine progress after the reappearance of Hazrat Hojja," Ayatollah Khamenei said.

Ayatollah Khamenei in another regard, laid out the prospective Islamic aspects of the model of progress, saying that the notion of monotheism could provide human with a neat solution for social challenges and that belief in the afterlife could render it logical to endure strait times and promote the spirit of sacrifice.

Ayatollah Khamenei noted that human being was regarded by Islam as axis of any social planning however it differs from humanism in that the ultimate goal of Islam is human salvation with other social issues like justice, welfare, security and even worship serving as preambles or minor goals.

Ayatollah Khamenei said Islam views human being as bound with duties, adding that democracy here is a duty besides being a right so that no one is entitled to shirk the responsibility of moral status of the society.

Ayatollah Khamenei then touched on the issue of government as shall be viewed in the model of progress, saying in view of Islam, anyone who is going to serve a post must first acquire necessary qualifications otherwise it is illegitimate for him or her to serve the post.

Ayatollah Khamenei also noted that in view of the model of progress, any individual who feels arrogant or wants everything to be his or her is not entitled to rule over others and similarly the people are not entitled to allow him or her to rule over them.

Ayatollah Khamenei wrapped the discussion with noting that the model of progress shall encompass justice as a major pillar and that it must adopt a non materialistic approach towards economy. "Islam values wealth and favors wealth generation provided it is not used for corrupt intentions, dominance or extravagance," the IR Leader said.

Ayatollah Khamenei called for establishment of a foundation tasked with the development of the prospective model of progress, adding that all intellectuals in the country are welcome to join the major drive.

Saturday, December 4, 2010

Seminar Pertama Pemikiran Strategis dengan Tema Model Kemajuan Berdasarkan Islam-Iran

Pada seminar pertama pemikiran strategis di Republik Islam Iran, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar Ayatullah al-Udzma Sayyid Ali Khamenei dan puluhan pemikir, para pakar akademisi dan hauzah hari Rabu malam (01/12) bertemu untuk mengkaji “prinsip, ciri khas dan dimensi model kemajuan berdasarkan Islam-Iran”.

Di awal seminar yang berlangsung lebih dari 4 jam ini, 14 pakar menjelaskan pemikirannya dalam pelbagai masalah terkait model kemajuan Islam-Iran selama tiga jam setengah. Setelah itu, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyampaikan sejumlah masalah dan menekankan pentingnya memanfaatkan seluruh kapasitas para pemikir di seluruh negeri dalam upaya menyusun model strategis ini. Beliau menyebut ada empat bidang penting seperti pemikiran, sains, kehidupan dan spiritual yang menjadi sektor penting model kemajuan berdasarkan Islam-Iran.

“Model ini akan menjadi dokumen rujukan bagi semua program dan visi Iran,” tegas Rahbar.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei juga menyampaikan kepuasaan dan penghargaannya atas pelbagai artikel ilmiah dan orasi para dosen dan ustad hauzah pada seminar pertama pemikiran strategis kemudian beliau menjelaskan pentingnya masalah ini. Menurut beliau, “Penyelenggaraan seminar semacam ini tidak pernah dilakukan sebelumnya di Republik Islam Iran.”

Rahbar menegaskan pentingnya kelanjutan seminar-seminar terkait pemikiran strategis dan menilai satu dari tujuan penting penyelenggaraan seminar semacam ini adalah mengajak para pemikir untuk mengkaji masalah-masalah penting dan makro negara. Ditambahkannya, “Di Iran ada banyak tujuan dan pekerjaan besar yang dalam perealisasiannya perlu memanfaatkan seluruh kapasitas dan kemampuan para pemikir. Bila demikian, kelazimannya adalah mereka harus terjun langsung membahas masalah-masalah makro.”

Rahbar menyebut pembudayaan dan pewacanaan terkait masalah makro di antara para pemikir dan setelah itu diturunkan ke tingkat umum masyarakat merupakan tujuan lain dari seminar-seminar strategis semacam ini. Menurut beliau, Tujuan ketiga dari penyelenggaraan seminar-seminar ini adalah menentukan garis dan bentuk penetapan jalur bagi masa depan negara.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menegaskan juga pentingnya menjauhkan diri dari ketergesa-gesaan dalam upaya mencapai hasil puncak dari seminar-seminar semacam ini dan menambahkan, “Penyusunan model kemajuan Islam-Iran merupakan proses jangka panjang dan tidak mungkin terealisasi dalam kondisi optimis dan jangka menengah, tapi selain itu harus dipertahankan percepatan logisnya.”

“Dalam model kemajuan Islam-Iran, tujuan harus jelas, tapi strategi sangat mungkin mengalami perubahan dan perbaikan sesuai dengan kondisi zaman. Masalah ini justru menunjukkan fleksibilitas model yang disusun ini,” tambah Rahbar.

Rahbar saat menjelaskan empat bagian penting dari “model kemajuan Islam-Iran memaknai kata model dengan “peta komprehensif” dan mengatakan, “Tanpa adanya peta komprehensif kita akan terjerumus pada pergerakan yang justru kontradiktif seperti sejumlah masalah budaya atau ekonomi dalam 30 tahun lalu.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei mendeskripsikan sebab pemilihan kata Islam menyebut pentingnya bersandar pada tujuan, nilai dan model peta komprehensif ini berdasarkan ajaran dan prinsi-prinsip Islam. Ditambahkannya, Masyarakat dan negara kita adalah Islam dan kita bangga dengan memanfaatkan sumber-sumber Islam mampu menyusun model kemajuan kita.”

Sementara terkait kata Iran dalam pemilihan tema “model kemajuan Islam-Iran” Rahbar menyinggung sejumlah masalah seperti pentingnya mencermati kondisi sejarah, geografi, budaya, ekonomi dan sosial Iran dalam penyusunan model ini. Menurut beliau, “Selain masalah-masalah ini, para perancang model ini juga para pemikir Iran. Sejatinya, model ini merupakan manifestasi upaya para pemikir Iran dalam menggariskan masa depan negara.”

Rahbar juga menyinggung pemilihan kata “kemajuan” dan mengapa tidak memakai kata “pembangunan” lalu menegaskan, “Kata pembangunan sebuah istilah yang telah dikenal dunia dengan makna, nilai dan kelaziman khususnya di mana kita tidak menyepakatinya. Oleh karena itu, kata “kemajuan” yang dipakai selain tidak mengambil dari pengertian pihak lain, juga memiliki akar dalam sejarah Revolusi Islam.”

Rahbar menilai menggariskan kondisi yang tepat dan memperjelas bagaimana dari kondisi yang ada mencapai kondisi yang diinginkan merupakan keharusan dalam proses penyusunan model kemajuan Islam-Iran. Ditambahkannya, “Menggunakan dua pengertian “Islam-Iran” tidak boleh dimaknai tidak memanfaatkan capaian-capaian pihak lain dan pengalaman mereka yang benar. Karena kita di jalan ini akan memanfaatkan segala ilmu dan makrifat secara benar dengan mata terbuka dan bebas dalam memilih.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei juga menyinggung pentingnya menyampaikan dan menjawab seluruh pertanyaan terkait “model kemajuan Islam-Iran” dan menambahkan, “Satu pertanyaan penting dalam masalah ini adalah mengapa perlu ditentukan waktu untuk menyusun model ini?

Dalam menjawab pertanyaan ini beliau berkata, “Sudah banyak pengalaman dan pengetahuan yang kita miliki selama tiga puluh tahun ini. Semua ini menunjukkan betapa saat ini sangat tepat untuk memulai menyusun model ini.”

“Sebagian berkeyakinan tidak adanya kemampuan pemikiran untuk menciptakan model seperti ini di Iran, namun dengan menyaksikan begitu banyaknya kapasitas dan potensi di negara ini membuktikan bahwa para pemikir Iran punya kemampuan untuk menyusun model ini dan gerakan di sektor ini akan terus dilakukan,” ungkap Rahbar.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei kemudian menjelaskan empat dimensi dalam model kemajuan; pemikiran, sains, kehidupan dan spiritual. Menurut beliau, “Model kemajuan Islam-Iran harus disusun sedemikian rupa sehingga mampu mendorong masyarakat ke arah masyarakat idealis. Luapan pemikiran dan “membuat ide-ide” harus menjadi hakikat yang muncul di tengah-tengah masyarakat.”

Sekaitan dengan bidang ini, Rahbar menilai penting untuk memperjelas segala strategi dan kelaziman kemajuan di bidang pemikiran dan memperhatikan sarana seperti “pendidikan, pengajaran dan media dalam menyusun model kemajuan.

Sementara di bidang sains yang menjadi dimensi kedua yang ditekankan oleh Rahbar, beliau mengatakan, “Inovasi dan gerakan yang sudah ada di bidang independensi sais harus terus dilanjutkan dengan percepatan lebih serta harus memperjelas jalur-jalur kemajuan di segala bidang, pendalaman dan prinsip-prinsip sains dalam model kemajuan Islam-Iran.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menilai penting memperhatikan masalah dan garis-garis utama kehidupan seperti keamanan, keadilan, kesejahteraan, kebebasan, pemerintah, independensi dan kehormatan nasional dalam kajian model kemajuan Islam-Iran. “Dalam model ini harus memberikan perhatian yang cukup di bidang kehidupan,” ujar Rahbar.

Bidang paling penting dalam pandangan Rahbar saat menyusun model kemajuan Islam-Iran adalah spiritual. Menurut Rahbar, dalam melaksanakan pekerjaan besar, komplek, detil dan berjangka panjang penyusunan model kemajuan Islam-Iran, hendaknya memperhatikan sisi spiritual. Karena spiritual menjadi semangat kemajuan hakiki di segala bidang.

Rahbar menyebut kehidupan manusia di masa kemunculan Imam Mahdi af sebagai contoh sempurna kehidupan manusia. Dikatakannya, “Manusia dengan sejarah ribuan tahunnya tetap hidup dalam kesulitan dan kebingungan. Sementara di masa kemunculan Imam Mahdi af mereka akan sampai ke jalan besar kemajuan yang hakiki dan untuk meraih itu harus ada usaha keras terus-menerus di bidang ini.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei kemudian melanjutkan pembicaraannya dengan mencermati lebih kandungan Islam dalam model kemajuan Islam-Iran.

Rahbar menilai perhatian akan masalah tauhid merupakan keharusan penting dalam penyusunan model ini. “Bila tauhid, keyakinan kepada Allah dan konsekuen atas akidah ini dapat dihamparkan dalam tubuh kehidupan manusia, sudah barang tentu segala masalah sosial yang dihadapi manusia akan menemukan solusinya dan mereka akan meraih jalan kemajuan yang hakiki,” jelas Rahbar.

Rahbar juga menyebut perhatian kepada Hari Kebangkitan dan perhitungan di akhirat dalam model kemajuan Islam-Iran akan berujung pada semakin logisnya manusia menanggung segala kesulitan dan menyebarkan semangat pengorbanan. Rahbar mengatakan, “Pengertian prinsip dan sangat menentukan ini harus menemukan maknanya dalam model kemajuan Islam-Iran.”

Kontinuitas, tidak memilah dunia dan akhirat dan menjadikan manusia sebagai subyek dalam pandangan Islam merupakan poin penting lain yang disampaikan Rahbar terkait kandungan Islam dalam model kemajuan Islam-Iran.

Rahbar menjelaskan bahwa manusia sebagai subyek dalam pandangan Islam dan filsafat Barat benar-benar berbeda. Menurut beliau, “Tujuan puncak Islam adalah keselamatan manusia. Berdasarkan cara pandang ini, semua masalah termasuk keadilan, kesejahteraan, keamanan dan ibadah merupakan pengantar atau tujuan sela. Karena tujuan asli dan utama adalah kebahagiaan manusia.”

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei menyebut manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang punya kehendak, punya kewajiban dan senantiasa berada dalam tuntunan ilahi. Dengan menegaskan pentingnya manifestasi cara pandang ini dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran, Rahbar mengatakan, “Dalam pandangan ini, demokrasi selain hak rakyat juga menjadi kewajiban mereka. Tidak seorangpun dapat mengatakan bahwa kebaikan dan kerusakan masyarakat tidak ada hubungannya dengan saya.”

Rahbar kemudian menyebut pemerintah dalam pandangan Islam termasuk masalah yang harus mendapat perhatian cukup dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran.

Sekaitan dengan hal ini beliau menyebut kelayakan individu dalam Islam sangat penting sehingga setiap orang yang ingin menerima tanggung jawab harus memiliki kelayakan yang diperlukan. Bila ia tidak memiliki kelayakan tersebut, maka perbuatan yang dilakukan berkat tanggung jawab yang diterimanya menjadi tidak sah, haram.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam menjelaskan poin lain terkait pandangan Islam dalam pemerintahan adalah penafian dominasi. Beliau mengatakan, “Dalam Islam, seseorang tidak berhak menerima kekuasaan bila memiliki karakter dominasi atau diktator yang menginginkan segalanya untuk dirinya. Sebaliknya, masyarakat juga tidak punya hak untuk memilih pribadi semacam ini. Cara pandang yang menganugerahkan kebahagiaan seperti ini harus dimasukkan dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran.”

Ekonomi merupakan poin lain yang dinilai Rahbar sangat penting untuk diperhatikan dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran. Menurut beliau, “Dalam model kemajuan Islam-Iran yang akan disusun oleh para pemikir harus memasukkan keadilan sebagai satu pilar utama. Karena dalam Islam, keadilan merupakan tolok ukur hak dan batil dan parameter legitimasi sebuah pemerintah.”

Ayatulllah Sayyid Ali Khamenei mengisyaratkan “cara pandang non materi atas ekonomi” poin penting lainnya dalam proses penyusunan model kemajuan Islam-Iran yang harus diperhatikan. Rahbar mengatakan, “Islam menganggap penting masalah kekayaan dan menilai upaya menghasilkan kekayaan sebagai hal yang diinginkan, tapi dengan syarat kekayaan itu tidak dimanfaatkan untuk menciptakan kerusakan, hegemoni dan pemborosan.”

Rahbar di bagian akhir dari pembicaraannya menegaskan kembali pentingnya melanjutkan seminar-seminar semacam ini dan menambahkan, “Dalam menyusun model kemajuan Islam-Iran sangat mungkin berujung pada pembentukan puluhan pertemuan dan lingkaran keilmuan dan pemikiran di universitas dan hauzah. Namun “jalan yang telah dimulai ini” harus terus dilanjutkan hingga ke titik yang diinginkan dengan memanfaatkan seluruh kapasitas para ilmuwan Iran. Insyaallah.”

Rahbar menyinggung juga bahwa penyusunan model kemajuan Islam-Iran tidak mungkin dikaji di lembaga-lembaga pemerintah dan di parlemen karena esensinya sebagai referensi dan rujukan. Oleh karenanya, sangat penting dilakukan pembentukan sebuah lembaga untuk menindaklanjuti tujuan strategis ini. Ditambahkannya, “Pekerjaan ini sangat penting dan gerakan agung ini tidak boleh dibatasi dalam sebuah kelompok saja tapi membutuhkan kerjasama seluruh pemikir dan ilmuwan di negara ini.”

Rahbar melanjutkan, “Pusat kajian ini harus segera dibentuk untuk menindaklanjuti kerja ini dan dengan bantuan para pakar dan ilmuwan Iran jalan untuk meraih tujuan sangat penting dalam menyusun model kemajuan Islam-Iran akan menjadi mudah.”

Di awal seminar Doktor Masoud Derakhshan, dosen Universitas Allamah Thaba’thaba’i menjelaskan pandangannya. Dalam artikelnya yang berjudul “Pengantar Prinsip-Prinsip Kemajuan Ekonomi Islam-Iran, DR Derakhshan mengatakan, “Model kemajuan Islam-Iran selain harus bersandarkan pada parameter ilahi dan hukum syariat, hendaknya memperhatikan juga ciri khas ekonomi Iran yang selama 50 tahun bergantung pada minyak.”

DR. Derakhshan menambahkan, “Model kemajuan harus muncul dari dalam dan pelaksanaannya membutuhkan kehendak dan tekad nasional dari para pejabat lembaga negara dan non negara serta bersandarkan pada kemampuan dalam negeri.”

Orasi kedua disampaikan oleh Doktor Mostafa Salimifar, dosen Universitas Ferdowsi Mashad. DR. Salimifar membahas proses perubahan pemikiran dan teori pembangunan di abad-abad terakhir dan mengatakan, “Seluruh perubahan yang ada dalam model pembangunan ini bersumber dari pandangan humanisme dan pandangan dunia sekular yang membuatnya tidak mampu menjamin tujuan yang diinginkan oleh umat manusia. Selain adanya perbedaan ideologi kenyataannya geografi kemajuan Iran juga berbeda. Oleh karena itu, kita harus mengkaji dan menjelaskan model kemajuan Islam-Iran.”

Doktor Salimifar menyebut upaya menciptakan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan pendidikan manusia mukmin, memiliki ekonomi fleksibel, maju dan peran serta mayoritas masyarakat merupakan tugas model kemajuan Islam-Iran. Dikatakannya, “Kita harus menjelaskan model kemajuan bersama dimensi strategisnya seperti perbaikan sistem pendidikan, penyusunan sistem pendalaman pengetahuan agama masyarakat dan menciptakan sistem produksi dan penyebaran ilmu dengan memperhatikan dokumen rujukan seperti Undang-Undang Dasar dan visi rencana jangka panjang 20 tahun.”

Salimifar dalam artikelnya menutup pembahasan dengan menyinggung cara pandang sempit, kendala teoritis, manajemen, sosial dan politik terkait masalah kemajuan.

Hujjatul Islam Walmuslimin Doktor Sayyid Hossein Mir Moezzi, peneliti Institut Farhang va Andisheh Eslami dalam seminar ini mengatakan, “Perubahan model kemajuan Islam-Iran menunjukkan pentingnya penerapan model kemajuan Islam dengan kondisi dan kekhususan budaya, sosial, politik dan ekonomi Iran.”

“Pengumpulan cadangan keilmuwan yang ada, pendefinisian dan penyelenggaraan pendidikan untuk doktoral dan post doktoral serta pembentukan kelompok-kelompok penelitian filsafat ilmu-ilmu humaniora Islam dapat menciptakan sarana untuk merancang dan menyusun model kemajuan Islam-Iran,” tambahnya.

Doktor Zahra Nasrollahi, dosen Universitas Yazd dalam orasinya terkait masalah model kemajuan Islam-Iran mengingatkan bahwa hampir seluruh model kemajuan Barat pernah diterapkan di Iran, tapi tidak sampai pada hasil yang diinginkan. Saat menjelaskan bagian utama dari “model kemajuan Islam-Iran” Doktor Zahra Nasrollahi menyebut penting menentukan tujuan yang benar dan melatih para pakar untuk dapat menerapkan model ini. Seraya menegaskan pentingnya perluasan dan pendalaman diskusi dan tukar pikiran Doktor Nasrollahi mengatakan, “Hendaknya kita juga membahas soal masa depan penelitian dan menggambarkan visi negara terkait penjelasan model kemajuan yang benar.”

Ditambahkan oleh Doktor Zahra Nasrollahi bahwa memberikan esensi pada bentuk dan lahiriah Islam, tidak adanya infrastruktur yang sistematik, tidak cukup mengetahui “Barat, Islam dan Iran”, mengambil sikap konfrontatif di hadapan segala bentuk perubahan, tidak punya kepercayaan yang tinggi di kalangan masyarakat sains Iran, tidak adanya fleksibilitas yang dibutuhkan dan seriusnya pesaing-pesaing asing merupakan kendala paling penting dalam merealisasikan model kemajuan yang benar.

Tampil sebagai pembicara selanjutnya Hujjatul Islam Walmuslimin Doktor Hamid Parsania yang menyampaikan tulisannya yang berjudul “Kemajuan Islam dan manajemen keilmuwan apa adanya”. Dalam tulisannya Doktor Hamid Parsania menganggap penting membongkar kembali identitas kemajuan modern dengan memperhatikan prinsip-prinsip teoritis dan sarana sosial dan sejarahnya.

Doktor Parsania menyinggung ketidakberhasilan pengalaman dalam menggeneralisasikan model kemajuan Barat kepada umat manusia dan menilai ilmu, rasionalitas multi dimensi Islam, kebebasan positif di kancah pemikiran sebagai kelaziman kemajuan Islam. Ditambahkannya, “Hendaknya menjauhi manajemen gaya perangkat keras dan bersifat hanya menopang sains. Kita harus menggambarkan hubungan yang benar antara ilmu dan budaya di balik manajemen cerdas dalam ufuk budaya dan mengorganisir kebijakan sains sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sejarah dan peradaban kita.”

Doktor Adel Peyghami, dosen Universitas Imam Sadiq tampil membahas sejumlah ciri khas dekade kemajuan dan keadilan. Dosen Universitas Imam Sadiq ini menyebut upaya meningkatkan kreativitas, ketrampilan menemukan solusi, ketrampilan mengambil keputusan dan kritis merupakan ketrampilan dasar bagi terciptanya sebuah kemajuan. Dikatakannya, “Parameter yang ada saat ini yang menjadi tolok ukur untuk memberikan data statistik di Iran ternyata belum mampu menghantarkan masyarakat pada keadilan dan kemajuan yang diinginkan. Mencermati hal ini sangat penting untuk setiap bidang ada parameter data statistik baru yang disusun dan diterapkan berdasarkan parameter tersebut.

Doktor Faramarz Rafipour merupakan pemakalah ketujuh dalam seminar pemikiran strategis. Faramarz Rafipour adalah sosiolog Universitas Syahid Beheshti. Ia mengetengahkan fakta-fakta sejarah dan menjelaskan proses terbentuknya imperialisme Barat dan membuktikan bahwa imperialisme merupakan metode paling penting bagi Barat untuk merealisasikan tujuan-tujuannya dengan menciptakan perubahan sistem nilai, budaya dan sosial di negara-negara Islam yang menjadi jajahannya.

DR. Rafipour menolak bila ada yang berpendapat Islam saling berhadap-hadapan dengan Iran. Dikatakannya, “Tradisi Asyura di Iran telah menjadi simbol pemersatu nasional dan identitas nasional bangsa Iran. Kenyataan ini menunjukkan di antara Iran dan Islam ada hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan.”

Dosen ilmu sosial ini menyebut kasih sayang sebagai rahasia kemajuan yang hakiki. Ditambahkannya, “Kemajuan Barat dengan memperluas kontradiksi di tengah-tengah masyarakat dan hanya memperkuat hubungan vertikel telah membuat kasih sayang di tengah-tengah masyarakat menjadi lemah. Di sini, para ilmuwan yang berpartisipasi dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran hendaknya memperhatikan hakikat ini.”

Selanjutnya giliran Doktor Haddad Adel, dosen Universitas Tehran yang menyampaikan bahwa dalam model kemajuan Islam-Iran harus memperhatikan ide-ide luhur dan prinsip-prinsip agama dan realita Iran dan dunia saat ini. DR. Haddad Adel menyebut jaminan keadilan, penguatan prinsip-prinsip keluarga, menghapus cara pandang terhadap wanita sebagai alat termasuk pilar-pilar utama model kemajuan Islam-Iran. Ditegaskannya, “Dalam menyusun model ini hendaknya memanfaatkan titik-titik kuat dan pengalaman sukses pihak lain.”

Seminar pemikiran strategis ini kemudian dilanjutkan dengan orasi Doktor Parviz Davoodi, Kepala Pusat Strategis Kepresidenan yang menyampaikan laporan mengenai langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah sejak kabinet kesembilan hingga kesepuluh dalam menyusun model kemajuan Islam-Iran.

Seraya mengisyaratkan penyusunan piagam Republik Islam Iran terkait prinsip dan struktur makro, Doktor Davoodi mengatakan, “Saat ini ada kelompok yang terdiri dari para pengajar dan peneliti hauzah dan akademisi yang mulai menyusun 22 rancangan untuk menentukan paramater di dua bagian; kemajuan ekonomi dan politik.”

“Dalam proses penentuan parameter keadilan, pertumbuhan ekonomi, pemborosan, keluarga dalam pandangan Islam, disiplin masyarakat, pembangunan kota dan arsitektur Islam, kemandirian, kebebasan, persatuan nasional, supremasi hukum, pelayanan sosial dan partisipasi politik tengah dibahas dan dikaji oleh kelompok ini,” jelas Davoodi.

DR. Emad Afrough, dosen Universitas Tarbiyat Modarres adalah pembicara selanjutnya yang langsung mengritik cara pandang yang lebih mementingkan kuantitas dan murni empiris. Dikatakannya, “Dalam setiap bentuk model kemajuan budaya harus dijadikan tolok ukur dan parameter asli.”

Dosen Universitas Tarbiyat Modarres ini menilai pemahaman yang detil mengenai Revolusi Islam merupakan syarat dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran dan menambahkan, “Slogan dan tujuan utama revolusi adalah kebebasan-keadilan, khususnya spiritual yang harus diperhatikan secara penuh dalam setiap bentuk penciptaan model kemajuan Islam-Iran.”

Doktor Afrough juga menyebut penting pemahaman detil akan masalah globalisasi. Ia mengatakan, “Akibat kontradiksi politik di dalam tubuhnya, sistem kapitalisme tidak memiliki kekuatan global dan globalisasi. Sementara Islam punya kemampuan ini dengan syarat para ilmuwan dan bangsa-bangsa Islam memperhatikan kenyataan dan kebutuhan global.”

Ayatullah Mohammad Mahdi Asefi, guru besar hauzah ilmiah Najaf dan Qom dalam seminar ini menekankan bahwa model kemajuan Barat tidak tepat untuk diterapkan dalam masyarakat Islam. Dikatakannya, “Dalam penyusunan model kemajuan Islam-Iran, hendaknya dijelaskan terlebih dahulu pandangan Islam mengenai kemajuan apakah ia sebuah tujuan atau hasil? Ditegaskannya, “Dasar dan prinsip-prinsip utama kemajuan adalah meningkatkan kemampuan keilmuan universitas.”

Sementara Doktor Sayyid Habibullah Thaba’thabaian, dosen Universitas Allamah Thaba’thaba’i dalam orasi pendeknya menilai perlunya mengukur secara benar kemajuan negara. Menurutnya, “Pengukuran yang dilakukan secara kontinyu akan memberikan kemungkinan untuk memperbaiki titik-titik lemah dan memperkuat titik-titik kuat.”

Ayatullah Hairi Yazdi dalam seminar ini menyebut upaya mengenal dan melindungi secara detil undang-undang alam akan menjadi sarana untuk mencapai kemajuan yang hakiki.

Ibu Alasavand, dosen hauzah dan universitas sebagai pembicara terakhir dalam seminar ini dalam orasinya menyinggung pentingnya memperhatikan keluarga sebagai poros kemajuan. Menurutnya, “Kemajuan berlandaskan spiritual dan memperhatikan dimensi budaya dalam pandangan strategis Islam harus lebih diprioritaskan.” Ia menambahkan, “Hendaknya harus mewaspadai nama maslahat dan pengertian-pengertian Islam agar dalam penerapannya tidak terjadi sekularisasi dan secara praktis tidak menjalankan struktur kemajuan Barat.”

Di awal acara seminar, Vaez Zadeh, Sekretaris seminar strategis dalam menjelaskan proses terbentuknya seminar ini mengatakan, “Ide pertama pembentukan seminar-seminar strategis lahir dari Ayatullah Sayyid Ali Khamenei sejak sepuluh bulan lalu. Setelah dibentuknya sekretariat dan penjajakan dengan para pemikir, dosen, guru hauzah dan ilmuwan, dipilihlah “Model Kemajuan Islam-Iran” sebagai tema pertama seminar ini.”

Seraya mengisyaratkan pentingnya partisipasi para pemikir, ilmuwan, cendikiawan, guru hauzah dalam proses pengambilan keputusan dan pewacanaan tema ini di Iran, Vaez Zadeh mengatakan, “Dalam seminar-seminar strategis, selain mengkaji aspek teoritisnya juga memperhatikan serius sarana demi menerapkan apa saja yang telah dikaji.”