Thursday, October 27, 2011

Patriotisme Tjipto Mangoenkosoemo

http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=36130:patriotisme-tjipto-mangoenkosoemo&catid=55:opini&Itemid=103

oleh: Airlangga Pribadi *



"The Indies for those who make their home there"
(Indische Partij, Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo, Soewardi Surjaningrat. December 1912)
Sosok Tjipto Mangoenkoesomo adalah tokoh pergerakan nasional awal yang terlalu penting perannya untuk ditempatkan pada pinggiran sejarah. Namun demikian dalam diskursus pergerakan nasional kalangan aktivis dan intelektual Indonesia saat ini, figur seperti Tijpto Mangoenkosoemo, Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat kerap ditempatkan sebagai pemeran pembantu yang sekilas tampil dalam teater kolosal pergerakan nasional yang dipadati oleh tokoh-tokoh Bung Besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan Tan Malaka.
Dalam konteks inilah maka artikel ini mencoba mengulas peran fundamental Tjipto Mangoenkosoemo dalam konteks nasionalisme Indonesia yang dalam fikiran dan tindakan politiknya menyumbangkan fondasi yang tak ternilai harganya dalam pembentukan pondasi nasionalisme berkarakter republikan-patriotik di Indonesia.
Apabila kita membaca kembali statemen diatas yang menjadi motto dari NIP yang dibuat oleh tiga serangkai bahwa "Hindia adalah untuk mereka yang memperjuangkan tanah air mereka disana", pada tahun 1918, maka jelaskah bahwa kita akan susah membayangkan sebuah wawasan tentang bagaimana Indonesia yang berbhineka, inklusif dan tergelar dari Sabang sampai Merauke tanpa adanya landasan konseptual yang padat sekaligus berkarakter civic nationalism ini.
Bila kita mengulas secara pendek sumbangan agen-agen dalam pentas besar pergerakan nasional maka kita dapat mengutarakan

Pertama adalah Boedi Oetomo dengan tokohnya dr. Soetomo (Tjipto Mangoenkosoemo juga menjadi salah satu tokoh faksi radikal dalam organisasi ini) pada tahun 1908 berperan memperkenalkan perangkat material-eksterior yaitu kesadaran berorganisasi terutama bagi kaum bumiputera Jawa.
Kedua, Sarekat Islam dengan Tjokroaminoto pada tahun 1913 mengintroduksi nasionalisme dan hak-hak bumiputera dalam identitas keislaman.
Ketiga, PKI pada tahun 1920 menyodorkan perspektif perjuangan kelas dalam pergerakan Indonesia.
Keempat, maka Indische Partij (IP) pada tahun 1912 dengan salah satu tokohnya yaitu Tjipto Mangoenkosoemo menjadi agen yang memberikan peranan penting dalam memperluas karakter nasionalisme Indonesia melampaui kesadaran etnis, ras, agama sebagai sebuah pendasaran nasionalisme esensial menuju konstruksi budaya nasionalisme yang lebih luas berlandaskan persamaan nasib sebagai kaum terjajah dan komitmen bagi tiap-tiap orang yang menginginkan Hindia sebagai tanah airnya.
Kelima, diatas rumah nasionalisme inklusif yang dibangun oleh Tjipto Mangoenkosoemo dan IP inilah maka Soekarno dan Partai Nasional Indonesia sejak tahun 1927 membangun konstruksi ideologis yang menghormati keragaman antar kelompok yaitu Islamisme-marxisme-Nasionalisme yang mengkristal menjadi Marhaenisme sebagai blok historis perlawanan anti kolonial.
Membaca peran Tjipto sebagai figur sang penggugah kebangsaan Indonesia tak dapat dilepaskan dari kondisi material yg menandai pergeseran formasi kolonialisme Indonesia dari era tanam paksa menuju era kolonialisme etis liberal. Dimana kondisi ini menjadi periode awal dari era kapitalisme di Indonesia. Era baru ini merupakan zaman "ekspansi, efisiensi dan kesejahteraan".
Setelah penaklukan terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro di tanah Jawa setengah abad sebelumnya dan penundukan terhadap perlawanan rakyat Aceh maka rangkaian pulau dari Sabang sampai Merauke berada dibawah rust en orde atau kontrol dari Belanda. Dalam kondisi demikian, maka Pemerintah Hindia Belanda membutuhkan pengembangan birokrasi modern yang terpusat dalam perluasan ruang lingkup wilayah yang begitu besar baik dalam wilayah sosial, ekonomi maupun politik (Takeshi Shiraishi 1997).
Era Kemajoean
Selain pergeseran penting dalam pelayanan-pelayanan pemerintah di bidang ekonomi, ekspansi perdagangan, pertanian, kesehatan dan pengobatan maka perluasan dalam pendidikan modern merupakan salah satu penanda utama diera politik etis ini.
Program pendidikan modern ini oleh kolonial Belanda melayani dua tujuan penting yaitu untuk memproduksi jenis tenaga kerja yang diperlukan oleh negara maupun kegiatan komersial privat juga untuk mengangkat pribumi dan menuntun mereka dalam program asimilasionis bagi persatuan Timur dan Barat.
Dalam kondisi demikianlah maka zaman yang disemangati oleh penanda "kemajoean" ini memberikan akses bagi kaum bumiputera untuk masuk dalam khasanah literari modern berbahasa Belanda, memfasilitasi mobilitas sosial bagi lapisan kalangan priyayi namun tetap dalam lingkup stratifikasi sosial yang diskriminatif berdasarkan pertemuan antara pembagian berbasis ras dan kelas di Hindia Belanda (Takeshi Shiraishi 1997).
Saya ingat M. Ricklefs mengutarakan bahwa pada zaman baru ini pada satu sisi tak ada data yang meyakinkan untuk menunjukkan kontribusi era baru ini bagi kesejahteraan rakyat maka disisi yang lain lapisan tipis mobilisasi sosial berbasis pendidikan mulai muncul dikalangan kaum priyayi muda akibat ekspos mereka terhadap pendidikan modern.
Seperti diutarakan Takeshi Shiraishi (1997) dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 bahwa pengalaman kalangan priyayi muda masuk dalam pendidikan kolonial membentuk dua unsur yang fundamental yaitu:

Pertama, pendidikan Barat ini memberikan mobilitas sosial dalam bangunan tatanan diskriminatif apartheid kolonial yang tetap dijaga oleh pemerintahan kolonial Belanda. Dengan demikian bumiputera adalah tetap bumiputera secerdas dan seluas apapun cakrawala pengetahuan yang mereka miliki.
Mereka tetap berada pada posisi pinggiran dalam hierarkhi kelas-ras kolonial Belanda. Inilah yang kemudian yang menjadi landasan solidaritas sosial mereka sebagai kalangan inteligensi baru bumiputera.
Kedua, pengalaman mengecap bangku sekolah modern dan menjadi profesional bergaji membentuk pengalaman, nilai-nilai dan wawasan pengetahuan yang membedakan mereka dengan generasi orang tua mereka lapisan kelas feodalis priyayi bumiputera yang masih berpegang pada tradisi lama yang hierarkhis. Pembelajaran mereka atas modernitas dalam pendidikan Belanda menggugah kesadaran meraka akan realitas dunia yang lebih luas daripada sekedar cangkang budaya Jawa lamanya.
Seperti diutarakan Takeshi Shiraishi bahwa kondisi demikian memang tidak membuat mereka menjadi Barat dan Eropa serta meninggalkan secara menyeluruh nilai-nilai dan norma tradisi. Namun wawasan baru dibalik ide "kemajoean" menjadikan tradisi telah kehilangan makna usangnya bagi mereka, dan makna dari tradisi, kode kultural maupun wacana tradisional Jawa mereka reinterpretasi kembali dengan cara pandang baru modern.

Pendeknya tradisi berdampingan dan saling berdialog dengan visi baru modernitas yang mereka pelajari dan alami.
Seperti diutarakan Yudi Latif (2011) dalam Negara Paripurna bahwa dari pengalaman paradoks mobilisasi dan peminggiran sosial yang kalangan inteleginsia baru ini maka kebangkitan semangat resistensial kaum pergerakan terhadap tatanan feodalisme dan kolonialisme muncul. terbitlah kehendak dari para intelegensia muda Bumiputera untuk menemukan identitas baru yang menjadi batas imajiner antara diri mereka dan kaum ningrat maupun prijaji konservatif feodalis.
Bersamaan dengan kehendak itu, maka Abdul Rivai (1902) menulis sebuah artikel yang didalamnya tercipta dua penanda yaitu bangsawan pikiran (kaum intelektual muda anti feodalisme, berwawasan kosmopolit dan memiliki komitmen terhadap rakyat dan kaum bumiputera) dan bangsawan Oesoel (kaum ningrat yang masih tertambat oleh budaya konservatif-feodalistik usang). Dalam pembelahan budaya dan politik diawal abad ke-20 inilah maka Tjipto Mangoenkosoemo adalah tokoh yang mengidentifikasikan diri sebagai bagian dari kaum bangsawan pikiran dengan pemikiran dan aksi-aksi politiknya.
Patriotisme Tjipto
Dalam medan pertarungan kontestasi sosial baru kaum intelegensia bumiputera untuk mengucapkan "selamat berpisah" dari era leluhurnya yaitu zaman feodalismel dan perjuangan menemukan identitas baru berbasis bangsa untuk memposisikan dan menarik garis batas identitas yang berbeda dengan zaman penjajahan kolonial Belanda inilah maka Tjipto Mangoenkosoemo menjadi agensi penting yang membidani lahirnya zaman tersebut.
Untuk menempatkan posisi intelektual Tjipto Mangoenkoesoemo baik dengan lawan-lawan politik maupun polemiknya dalam perdebatan diskursus kebangsaan Indonesia ini saya akan menggunakan kategorisasi dari Maurizio Viroli (1995) dalam For Love of Country: an Essay on Patriotism and Nationalism. Dalam karyanya Viroli membedakan antara faham nasionalisme an sich dan republikan patriotisme.
Pembelahan ini terkait dengan loyalitas kepada bangsa (nasionalisme) maupun loyalitas kepada negara bangsa sebagai sebuah komunitas politik (patriotisme). Pada yang pertama, loyalitas kepada bangsa dan bahasa nasionalisme tertuju pada perjuangan atas nama pijakan esensialis untuk menggapai sebuah kesatuan homogen atas kesamaan bahasa, kebudayaan dan etnis, sementara bahasa perjuangan politik berbasis patriotisme diarahkan untuk menggugah perlawanan terhadap despotisme, korupsi dan tirani untuk menciptakan sebuah tatanan politik berbasis demokrasi, keadilan dan partisipasi politik yang setara. Pada posisi yang terakhirlah Tjipto Mangoenkosoemo menempatkan diri dan mengabdikan hidup dan perjuangannya.
Untuk memperlihatkan bagaimana perjuangan dilevel diskursif dari Tjipto Mangoenkosoemo yang berpijak dari semangat republikan patriotisme, ada baiknya apabila kita menengok sekilas polemik Tjipto dengan Soetatmo Soerjokoesoemo yang dilakukan pada saat pembukaan Volksraad pada awal 1918 yang kemudian dilanjutkan dalam Konggres Pengembangan Kebudayaan Jawa, 5-7 Juli 1918.
Perdebatan tersebut kemudian diterbitkan pada tahun yang sama dalam selebaran berjudul "Javaansche of Indische Nationalisme" (Nasionalisme Jawa atau Hindia). Dalam perdebatan ini Soetatmo mengajukan argumen tentang pentingnya membangun nasionalisme berlandaskan identitas Jawa, karena nasionalisme Jawa memiliki landasan kebudayaan, bahasa dan sejarah yang sama sebagai bagian dari suku Jawa, sementara nasionalisme Hindia tidak memiliki pendasaran kultural maupun bahasa yang sama yang tak lebih dari produk kolonialisme Belanda.
Berbeda dengan Soetatmo, bagi Tjipto mereka yang mengusung faham nasionalisme Jawa tidak menyadari gerak perkembangan sejarah dunia. Kaum Bumiputera haruslah belajar pada kemajuan Eropa untuk mengejar ketertinggalan dan menjadi bangsa mandiri. Meskipun Hindia Belanda sendiri terdiri atas keberagaman suku, golongan, kebudayaan dan bahasa namun pencarian atas pijakan persatuan sebagai bangsa tidak bisa lagi dikembalikan dalam bayangan masa lalu tentang kemegahan Jawa yang telah jadi himpunan wilayah kolonial Belanda. Bagi Tjipto tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia.
Selanjutnya pada kesempatan kedua di Konggres Pengembangan Kebudayaan Jawa , 5-7 Juli 1918, Tjipto Mangoenkosoemo melakukan kritik terhadap kebudayaan Jawa dengan memperlihatkan sistem kasta serta asas penggantian bupati yang bersifat turun-temurun yang justru menjadi penyangga dari sistem kolonialisme Belanda (Budiawan 1994).
Apabila dilihat sekilas sampai disini memang Tjipto Mangoenkosoemo merupakan penganut pencerahan dan modernitas terkait dengan bagaimana arah masa depan Bumiputera sesuai dengan ide kemajoean. Namun demikian apabila Tjipto difahami sebagai penganut faham modernitas yang semata-mata meyakini sejarah yang bersifat linear dan anti tradisi, maka kita akan kehilangan dimensi lain dari pemikiran Tjipto Mangoenkosoemo. Untuk bagian ini kita akan mengulasnya kembali setelah saya menguraikan karakter kebangsaan patriotisme dari pemikiran Tjipto Mangoenkosoemo.
Apabila telah diuraikan diatas bahwa apa yang membedakan antara bahasa nasionalisme dan bahasa patriotisme adalah apabila yang pertama menekankan pada homogenitas bahasa, pengalaman kultural maupun etnis, sementara yang kedua menekankan pada perjuangan patirotik untuk melawan penindasan dan dominasi serta mewujudkan tatanan komunitas politik yang adil, egaliter dan anti penindasan ada baiknya kita menyimak ulasan Takeshi Shiraishi (1997) tentang Tjipto berikut ini.
Meski Tjipto seringkali menulis sama dengan bahasa kaum etis Belanda maupun pemimpin SI yang berada dalam ruang lingkup gugus kolonial Belanda, namun dokter Tjipto Mangoenkoseomo pada tahun 1916 mendiagnosis penyakit kaum bumiputera dalam kerangka kontradiksi dialektis antara dominasi dan subordinasi terletak pada "sifat patuh orang Jawa, yang selalu bilang ja atau amin pada apapun yang dibebankan padanya sebagai manusia, ia juga punya hak asasi manusia yang tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Berbicara kepada rekan Belandanya Tjipto menegaskan bahwa "Dalam kasus kami sekarang semuanya sudah jelas, obat bagi (masalah) kami adalah kurangnya semangat perlawanan. Budaya Jawa tak membolehkan munculnya kritik kepada pemegang kuasa, sebaliknya budaya ini mengharuskan kita tunduk tanpa syarat kepada penguasa. Kemudian ia kembali memperkuat argumen perlawanannya dengan mengatakan "Akan tetapi, izinkan saya kembali menjelaskan obat kami.
Saya bisa bilang bahwa itu tak lain adalah pengorganisasian rasa tidak puas, Oposisi harus dilakukan pada pemegang kuasa...". Kata-kata seperti Hak Asasi Manusia, semangat perlawanan, kritik, dan oposisi adalah istilah-istilah yang sering tampil dalam argumentasi pada tulisan-tulisan Tjipto Mangoenkosoemo.
Bahkan pada tahun 1911 saat kalangan intelegensia Bumiputera masih meraba dan mengeja kemajoean dan modernitas, Tjipto telah menunjukkan posisinya membela gagasan baru demokrasi dan mengkritik kaum priyayi Bumiputera dengan artikel berjudul Takut Akan Demos.
Rangkaian kata-kata tentang semangat perlawanan, Hak Asasi Manusia, oposisi dan demos ini memperlihatkan bahwa komitmen utama Tjipto sebagai seorang republikan-patriotik bukanlah semata-mata pada landasan spiritual atau keinginan membangun kesatuan berbasis persamaan budaya, bangsa maupun suku yang menjadi pijakan dari nasionalisme. Namun Tjipto menggugah kesadaran segenap lapisan bumiputera untuk pentingnya memperjuangkan kemerdekaan bersama (common liberty) dan institusi politik yang dapat merawatnya.
Dalam kemajemukan elemen-elemen suku, bangsa, agama, ras, bahasa di Hindia Belanda maka Tjipto Mangoenkosoemo telah memberikan sumbangan penting bahwa ikatan solidaritas sebagai suatu bangsa hanya bisa muncul dalam fondasi solidaritas republikan yang melampaui elemen-elemen partikularistik tersebut.
Landasan akan kesamaan nasib sebagai kaum tertindas dan hanya mengorganisasikan perlawanan atas nama kesetaraan, kebebasan bersama dan kekuasaan demokratik lah maka komitmen solidaritas sebagai bangsa Hindia mendapatkan pendasarannya.
Komitmen patriotisme republik dari Tjipto Mangoenkosoemo misalnya nampak dalam penekanan dimensi moralitas publik yang begitu besar. Tjipto menjadi tokoh pergerakan nasional yang menggugah para kaum muda dizamannya akan pentingnya keteladanan (virtue) dan komitmen bagi rakyat bumiputera.
Hal ini nampak misalnya salah satu surat Tjipto Mangoenkosoemo yang ditemukan oleh Harry A. Poeze (2008) berjudul Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran di Negeri Belanda yang berjudul Seruan. Dalam surat itu Tjipto menyeru kepada para mahasiswa tersebut untuk rela berkorban meninggalkan uang dan kemasyhuran untuk mengabdi bagi tanah air menyumbangkan tenaga dan menyembuhkan wabah penyakit di Hindia Belanda.
Salah satu diskusi sejarah yang menarik terkait dengan posisi intelektual dan politik Tjipto Mangoenkosoemo adalah penyikapannya terhadap kemerdekaan nasional dan pemisahan dari pemerintahan Hindia Belanda. Savitri Scherer (1985) dalam karyanya Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX sepakat dengan pandangan Sutan Sjahrir yang menganggap radikalisme Tjipto sebagai yang paling tidak berbahaya.
Hal ini karena menurutnya Tjipto hanya ingin mengubah pola relasi antara pemerintah dan yang diperintah dalam konstruksi semesta rezime kolonial. Namun demikian pandangan diatas dipertanyakan oleh Takeshi Shiraishi (1997), meskipun perjuangan Tjipto Mangoenkosoemo bisa ditempatkan dalam perlawanan yang masih dapat difahami oleh kalangan etis Belanda, jalan evolusi Tjipto ini memberi skema bagi pentingnya demokratisasi tatanan politik, pengalaman kaum bumiputera dalam berparlemen sebagai basis pijakan menuju fase selanjutnya yaitu kemerdekaan Indonesia.
Sehingga meskipun dimata penerusnya gagasan Tjipto dinilai terlalu moderat namun pemikirannya menjadi rantai penghubung kemunculan pemikiran-pemikiran nasionalisme yang lebih radikal seperti yang digagas oleh salah satu muridnya di Bandung yaitu Soekarno maupun republikanisme yang lebih progresif seperti diadopsi oleh Muhammad Hatta.
Kemodernan dan Tradisi
Dalam ulasan diawal terkait dengan polemik Tjipto dengan Soetatmo berhubungan dengan nasionalisme Hindia atau Jawa, Tjipto begitu kritis menghantam argumen Soetatmo dan pijakan otoritas tradisi Jawa sebagai basis pendasarannya. Pembacaan atas uraian Tjipto secara sekilas akan membawa kita sampai pada persepsi Tjipto sebagai anak kandung zaman kemajoean yang mempercayai perjalanan sejarah secara linear dan berusaha membuang tradisi (terutama Jawa) sebagai sesuatu yang harus disingkirkan saat menyongsong zaman pencerahan.
Sebelum meyakini persepsi diatas, ada baiknya kita menengok sebentar pandangan pemikir postcolonial India Partha Catherjee (1993) dalam The Nation and Its Fragments ketika memahami formasi nasionalisme anti-kolonial Asia dan Afrika dan kita bandingkan dengan pemikiran nasionalis Indonesia khususnya Tjipto Mangoenkosoemo tentang relasi antara tradisi India dan imajinasi Barat. Menurut Catherjee bahwa nasionalisme antikolonial menciptakan wilayah kedaulatannya sendiri sebelum melakukan perlawanan politik dengan kekuasaan imperial.
Hal itu mereka lakukan dengan membagi dua ruang antara wilayah material dan spiritual. Ruang material seperti ekonomi, tata-kenegaraan, sains dan tekhnlogi, dimana Barat telah menunjukkan keunggulannya dibandingkan Timur. Pada ruang wilayah ini keunggulan Barat ini telah difahami dan dipelajari oleh para intelegensia Timur. Sementara pada wilayah spiritual, ruang dalam ini tetaplah dijaga untuk menunjukkan identitas budaya kaum bumiputera. Dalam formula inilah maka semangat nasionalisme di masyarakat jajahan tampil kepermukaan.
Apa yang diutarakan oleh Partha Catherjee ini dalam taraf tertentu dapat menjelaskan gagasan-gagasan kemodernan dari Tjipto Mangoenkosoemo. Dalam gugatannya terhadap tradisi feodalisme Jawa dan eksposnya terhadap nasionalisme Hindia dan ide-ide kemajoean Tjipto tidaklah menghantam tanpa ampun pandangan tradisi kejawaan dan segenap kode-kode kultural yang ada didalamnya.
Yang dilakukan oleh Tjipto adalah melakukan reinterpretasi terhadap ruang dalam spiritual dari tradisi dengan semangat baru perlawanan dan kemodernan. Ketika Tjipto mengkritik sistem kasta, tatanan feodal dan hierarkhi sosial yang tertanam kuat dalam budaya Jawa, ia menulis pula buklet De Wayang yang menggunakan cerita tradisi Jawa Hindu yaitu Wayang dengan dialog antara Abimanyu dan kakeknya untuk menemui ayahnya Arjuna.
Dalam fragmen tersebut, ditampilkan bahwa didalam wayang seorang cucu seperti Abimanyu dapat bersikeras untuk memperjuangkan keinginannya meskipun ditolak oleh kakeknya. Wayang sebagai bagian dari tradisi Jawa digunakan oleh Tjipto sebagai medium untuk menyebarkan tradisi perlawanan dimasyarakat Jawa sebagai obat dari penyakit konformis dan selalu berkata ja yang telah menjadi penyakit akut masyarakat Jawa di era feodalisme waktu itu.
Pada bagian lain tulisannya Tjipto menyebutkan bahwa kerusakan budaya Jawa bukanlah secara semata-mata terletak pada persoalan didalam budaya Jawa itu sendiri. Ia melihat bahwa Jawa telah kehilangan kemerdekaan dan karakter teguhnya karena kekuaasaan otoriter dan eksploitasi kapitalis penguasa Belanda. Tatanan menindas dan opresif inilah yang menjadi sebab utama kehancuran kebudayaan Jawa. Sementara perjuangan untuk melawan bentuk-bentuk penindasan ini ia uraikan dengan memberi keteladanan seperti Pangeran Diponegoro maupun sosok wayang Abimanyu.
Dalam kemunculan virtue dari sikap ksatria inilah, maka kemunculan ksatria-ksatria baru yang mampu menjadi warga Hindia di masa depan (Takeshi Shiraishi 1997; 170). Demikianlah maka Tjipto menjadi salah satu pelopor dari kalangan intelegensia awal Indonesia yang menempatkan antara tradisi dan kemodernan secara dinamis. Penggambaran-penggambaran ksatria wayang selanjutnya menjadi bagian dari proses pendidikan politik maupun propaganda-terutama sering dilakukan oleh Soekarno dalam orasi-orasinya yang memukau rakyat kecil--yang kerapkali dilakukan untuk menggugah kesadaran politik rakyat dan mengikuti zaman baru yaitu zaman kemajoean sebagai pintu pembuka menyongsong kemerdekaan Indonesia.
Penutup
Dari pemaparan singkat atas gagasan-gagasan dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita dapat menjelaskan sedikit paradoks dan kompleksitas dari pandangan-pandangan Tjipto Mangoenkosoemo. Sebagai seorang penggugah awal pergerakan nasional Tjipto adalah seorang aktivis radikal yang memiliki standar virtu yang tinggi pada masanya.
Ia menekankan pada pentingnya membangkitkan semangat patriotisme dikalangan intelegensia awal Bumiputera untuk mengabdi kepada rakyat, menolak setiap bentuk-bentuk kesewenang-wenangan dan menjadi pendorong awal bagi proses demokratisasi politik di Hindia Belanda. Namun demikian kritik dan pembangkangannya tersebut ia artikulasikan dalam batasan-batasan konstruksi rezime kolonial.
Langkah tersebut tidak membatasi perjuangannya hanya pada konteks relasi demokratis dalam formasi rezime kolonial Hindia Belanda, karena di masa depan ia mempercayai bahwa dalam proses politik yang keras, maka kaum Bumiputera secara evolusioner dapat merebut kemerdekaannya. Komitmen itu dapat dibuktikan dari keterlibatannya dalam organisasi Indische Partij yang memiliki tujuan membangun nasionalisme yang inklusif serta kemerdekaan Hindia.
Paradoks selanjutnya dapat kita telusuri dari komitmen Tjipto terhadap nilai-nilai kemoderan dan kemajoean. Meski kritik Tjipto terhadap kultur feodalisme Jawa begitu keras dan menghantam hierarkhi kekuasaan, namun ia melakukan reinterpetasi terhadap budaya Jawa.
Figur-figur ksatria dalam pewayangan maupun figur histories seperti Pangeran Diponegoro ia artikulasikan untuk menggugah komitmen dari para aktivis pergerakan dan intelegensia muda Hindia untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik kebebasan politik yang lebih luas bagi rakyat Hindia dan kemajuan perjuangan politik rakyat untuk merebut hak-haknya.
Setelah kita menguraikan secara padat dinamika pemikiran nasionalisme patriotik dari Tjipto Mangoenkoesoemo kita dapat menarik garis pelajaran penting dari buah-buah gagasannya di masa lalu untuk memudakan dan menyehatkan kembali ruang politik kita disaat ini.
Pertama, dalam konteks politik kita sekarang, aktivisme politik Tjipto Mangoenkoesoemo memberi kita pelajaran penting bahwa politik pertama-tama adalah sebuah komitmen untuk memperjuangkan kemerdekaan bersama dan terbangunnya sebuah komunitas politik yang menolak kesewenang-wenangan.
Keteladanan dan standar moral yang tinggi dalam wilayah politik (virtue) untuk membela rakyat yang dimiskinkan yang selalu kerapkali diserukan oleh Tjipto Mangoenkoesoemo masih menjadi seruan yang penting bagi arena politik kita saat ini.
Kedua, Tjipto sebagai penyeru nasionalisme inklusif awal di tanah Hindia mengingatkan kita bahwa basis fondasional dari kebangsaan kita bukanlah pada elemen-elemen esensial seperti homogenitas suku, bahasa, agama dan kebudayaan namun nasionalisme kita dibangun berdasarkan solidaritas bersama dalam konteks kesatuan dalam keragaman. Dalam ikatan jalinan solidaritas bersama dalam kebhinekaan inilah, maka jalinan kebangsaan Indonesia hanya dapat dirawat ketika keadilan sosial dan kesetaraan sebagai warganegara tetap diperjuangkan dalam institusi politik yang demokratis.
Ketiga, Kompleksitas dan dialog Tjipto dengan modernitas dan tradisi memperlihatkan bahwa jalan kemajuan adalah gerak dinamis melihat keluar dan melihat kedalam. Bahwa ide-ide kemajuan dari luar seprogresif apapun membutuhkan proses dialog dan penyesuaian dengan konteks tradisi lokal sementara disisi lain tidak ada pula tradisi lokal yang selalu utuh dan bertahan tanpa melihat dinamika zaman. Proses reinterpretasi dan dialog dengan nilai-nilai kemajuan menjadi penting agar tradisi tetap memberikan relevansinya bagi kemanusiaan.
Sumber Rujukan:
- Budiawan (1994). Nostalgia atau Utopia. Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 3.
- Chatterjee, Partha (1993) The Nation and Its Fragments. Princeton University Press.
- Latif, Yudi (2011) Negara Paripurna. Gramedia.
- Poeze A., Harry (2008) Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950. KPG dan KITLV-Jakarta.
- Shiraishi, Takeshi (1997) Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Grafiti Jakarta
- Scherer, Savitri Prastiti (1985) Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-Pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX. Sinar Harapan.
- Viroli, Maurizio (1995) For Love of Country: an Essay on Patriotism and Nationalism. Oxford University Press.
*) Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga